Festival Film Indonesia (FFI) 2014 yang merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi insan perfilman Indonesia telah selesai dilaksanakan. Silakan kawan-kawan googling sendiri pemenang lengkap FFI tahun ini. FFI tahun ini merupakan FFI terbaik sejak tahun 2004. Namun begitu, bukan berarti FFI sekarang berjalan tanpa catatan, berikut beberapa catatan saya mengenai Festival Film Indonesia (FFI) 2014 yang saya rangkum dalam SERBA SERBI FFI 2014
A. Penilaian & Penjurian
Berdasaran berita dan informasi dari sumber resmi (web, twitter, dll) Festival Film Indonesia 2014, bahwa penilaian dilakukan oleh 5 orang untuk masing-masing kategori nominasi. Mereka akan memilih 5 terbaik dari masing-masing kategori, untuk selanjutnya dipilih satu yang terbaik oleh seluruh dewan juri dengan pemenangnya ditentukan oleh suara terbanyak. Yang perlu diapresiasi tahun ini adalah, sistem penjurian yang menggunakan tabulasi tertutup, dilakukan oleh konsultan luar, Deloitte, sehingga pada saat malam puncak juri belum mengetahui siapa pemenangnya. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan metode diskusi dari para juri sehingga terlihat kurang adil dan transparan.
B. Masuknya Ringgo Agus Rahman
Ringgo Agus Rahman (Jomblo) memang bukan aktor sembarangan, beberapa kali pernah masuk Festival Film Indonesia baik piala citra ataupun piala vidya. Namun sedikit menggelitik disini, Ringgo masuk nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik lewat film Sebelum Pagi Terulang Kembali. Kenapa demikian? Peran dan porsi Ringgo dalam film ini sangatlah sedikit dan menurut saya tidak terlalu bersentuhan dengan inti cerita, dan juga tidak ada akting yang membuat saya berpikir Ringgo masuk di kategori ini, sekalipun jika harus dari film ini saya lebih setuju nominasi diberikan pada Fauzi Baadila atau Ibnu Jamil. Kalau saya melihat, masih ada Ananda Omesh, yang menunjukkan kemajuan kemampuan aktingnya dalam Hijrah Cinta sebagai bandar narkoba. Perannya bersentuhan langsung dengan inti cerita dan pemeran utama, atau ada Epy Kusnandar, aktor yang sering bermain apik, namun sedikit terlupakan. Tahun ini aktingnya dalam Killers, saya rasa patut diapresiasi. Namun ternyata 5 juri malah memilih Ringgo Agus Rahman meski pada akhirnya piala berhasil didapat oleh Yayu Unru (Tabula Rasa).
C. Tragedi Maudy Koesnaedi
Kenapa saya sebut tragedi? Secara mengejutkan Maudy Koesnaedi yang berperan sebagai Ibu Inggit dalam film Soekarno (Hanung Bramantyo) masuk di dua kategori yakni Pemeran Utama Wanita terbaik dan Pemeran Pendukung Wanita terbaik untuk film yang sama. Lho kok bisa? Wajar memang dikarenakan juri yang menilai kedua kategori ini berbeda sehingga terjadi perbedaan pandangan dalam menilai peran dan porsi Maudy Koesnaedi. Lalu bagaimana saya menilai? Saya menilai Maudy seharusnya lebih tepat berada di kategori Pemeran Pendukung Wanita terbaik. Tidak hanya saya, penghargaan lain pun seperti Indonesian Movie Award (IMA) dan Festival Film Bandung (FFB) menempatkan Maudy Koesnaedi sebagai Pemeran Pembantu Wanita terbaik. Entah apa alasan yang membuat juri memilih Maudy di pemeran utama sementara kalau saya amati peran & porsi Maudy sama dengan Tika Bravani (Fatmawati) yang masuk di kategori pemeran pembantu wanita terbaik dan Tika berhasil mendapatkan piala citra. Andaikan Maudy ada di kategori pemeran pembantu wanita, saya yakin, Maudy lah yang membawa pulang piala tersebut. Memang saya begitu menantikan Maudy mendapat piala citra ini, karena aktingnya begitu berkesan, meski Tika Bravani pun menunjukkan hal yang serupa.
D. Kembalinya Revalina S. Temat dan Riri Riza
Memang nggak ada hubungannya antara Revalina S. Temat dan Riri Riza. Mereka hanya sama-sama kembali. Reva kembali ke dunia layar lebar setelah beberapa tahun off, dan Riri Riza kembali meramaikan FFI setelah melewatkan 7 kali ajang FFI yang merupakan buntut panjang atas keputusan dewan juri FFI yang memenangkan Ekskul sebagai film terbaik FFI 2006. Kembalinya Reva memang belum berbuah manis, dirinya masuk sebagai pemeran utama wanita terbaik lewat film Hijrah Cinta. Berperan sebagai Pipik Dian Irawati, Reva berhasil menyuguhkan akting yang natural dan sempurna. Namun, aktris yang juga sempat masuk kategori serupa di FFI 2009 lewat Perempuan Berkalung Sorban ini belum juga meraih piala citra. Saat itu dikalahkan oleh Titi Sjuman (Mereka BIlang Saya Monyet), dan tahun ini oleh Dewi Irawan (Tabula Rasa). Berbeda dengan Reva, kembalinya Riri Riza berbuah manis. Riri yang membesut Sokola Rimba berhasil masuk di beberapa nominasi dan membawa pulang satu piala citra yakni Penulisan Skenario Adaptasi terbaik. Congrat buat Riri Riza dan terus berkarya untuk Revalina S. Temat, suatu saat anda pasti mendapatkan itu.
E. Transformasi Chicco Jericho dan Performa Abimana Aryasatya
Siapa sangka aktor yang sering bermain sinetron, kali ini bisa membawa pulang piala citra. Yupz, Chico Jericco. Lewat film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku, Chico memang menunjukkan transformasi mahadahsyat dalam kemampuan aktingnya. Jujur saya pun pernah ngetwit setelah nonton film ini, bahwa Chico layak diperhitungkan sebagai aktor terbaik FFI tahun ini. Namun begitu, sebetulnya saya menjagokan Oka Antara (Killers), namun sayang dewan juri tidak memasukkan Oka ke nominasi. Jauh sebelum Chico, ada aktor lain yang mulai menunjukkan performa terbaiknya dan stabil di level baik. Dia adalah Abimana Aryasatya yang sudah meramaikan dunia film indonesia serta FFI. Pada tahun 2012, dirinya masuk di kategori pemeran pendukung pria terbaik lewat Catatan Harian Si Boy, sayang piala belum bisa ia raih. Setahun kemudian, prestasinya meningkat dengan masuk di kategori pemeran utama pria terbaik lewat Belenggu. Namun sayang kembali sayang, piala jatuh pada Reza Rahadian (Habibie & Ainun) yang merupakan piala citra ke-2 untuk kategori yang sama. Tahun ini Abimana mampu mempertahankan konsistensinya di FFI dengan kembali masuk di kategori pemeran utama pria terbaik lewat Haji Backpacker, namun sayang kembali sayang, performa Abimana kali ini harus dibayangi oleh transformasi Chico Jericco. Terus berkarya Abimana, anda calon aktor menjanjikan.
F. Salam Gigit Jari, 3 Nafas Likas
3 Nafas Likas adalah film biografi yang menceritakan pahlawan perempuan dari Tanah Karo, Likas Tarigan. Di FFI tahun ini, film ini adalah film yang berhasil masuk nominasi terbanyak kedua setelah Soekarno. Bahkan beberapa diantaranya kategori bergengsi, sebut saja Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Rako Prijanto), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Atiqah Hasiholan), Pemeran Utama Pria Terbaik (Vino G. Bastian) dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Jajang C. Noer). Namun hingga akhir acara, tidak satupun kategori yang memenangkan film ini. Untungnya, ada satu penghargaan khusus, yakni pemeran anak-anak terbaik yang akhirnya jatuh pada Tissa Biani yang berperan sebagai Likas kecil. Tak apa 3 Nafas Likas, terus berkarya demi kemajuan perfilman Indonesia
G. Beruntungnya Tabula Rasa (Bikin Kaget)
Saya yakin tidak banyak dari anda-anda yang tahu / nonton film ini. Teman-teman saya pun pada nanya, “Ja, Tabula Rasa film apa sich”. Mereka penasaran karena film ini berhasil merebut beberapa kategori bergengsi. Sutradara Terbaik (Adrianto Dewo), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Dewi Irawan), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Yayu Unru) dan Penulisan Skenario Asli Terbaik (Tumpal Tampubolon). Sedikit mengejutkan memang, terlebih untuk kategori sutradara terbaik yang lebih lengkap akan saya ulas di poin selanjutnya.
H. Sutradara Terbaik & Film Terbaik
Sutradara adalah garda terdepan yang paling berperan dalam menentukan arah dan kualitas film. Oleh karenanya tidak salah jika FFI menempatkan sutradar dan film satu paket. Coba kita kilas baik dari tahun lalu. Sang Kyai sebagai film terbaik juga menempatkan sang sutradaranya Rako Prijanto sebagai sutradar terbaik. Dua tahun ke belakang, Tanah Surga Katanya yang meraih film terbaik, juga menempatkan sutradaranya Herwin Novianto sebagai sutradara terbaik. Terus k tahun sebelumnya, ada Sang Penari sebagai film terbaik yang juga menempatkan Ifa Isfansyah sebagai sutradara terbaik. Lalu bagaimana dengan tahun ini? Sungguh sangat berbeda. Film terbaik diraih oleh Cahaya dari Timur : Beta Maluku yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko (Hari Untuk Amanda), namun Angga tidak mendapatkan sutradara terbaik, bahkan nominasinya pun tidak. Begitu sebaliknya, Adrianto Dewo yang membesut Tabula Rasa berhasil meraih sutradara terbaik, namun filmnya sama sekali tidak masuk di kategori film terbaik. Kekecewaan terberat saya pada tahun ini, adalah kemenangan Sutradara Tabula Rasa sebagai sutradara terbaik. Saya menjagokan Hanung Bramantyo dalam Soekarno, tidak mudah mengarahkan Soekarno. Bahkan salah seorang teman saya yang berprofesi sebagai pengamat, bilang jurinya “sakit”, telah memilih penyutradaraan terbaik pada Tabula Rasa. Untuk kategori film mesk jagoan saya Soekarno tidak berhasil tahun ini, saya masih tidak terlalu kecewa karena film terbaik jatuh pada Cahaya dari Timur : Beta Maluku, film yang keren juga. Tapi untuk sutradara terbaik, jujur kecewa.
I. Pidato Sang Presiden
Ini yang unik, pidato Bpk. Presiden Joko Widodo. Uniknya dimana, beliau mengingat-ingat film yang selama 2 tahun terakhir ditonton d bioskop, dan beliau sebut Manusia Setengah Salmon, Comic 8 dan Malam Minggu Miko. Kirain saya beliau mau menyebut film Jokowi Adalah Kita yang baru sehari tayang, sudah menghilang dari peredaran, hehehehh. Selain itu, ini sejarah bagi FFI, karena untuk pertama kalinya FFI dihadiri oleh presiden. Mudah-mudahan tidak hanya pencitraan tanpa makna atau sekedar pelipur lara bagi insan film yan saat pemilu lalu banyak yang mendukung dirinya. Oia, sekalian juga saya menunggu janji-janjinya yang diucapkan saat pidato, salah satunya membuat Badan Ekonomi Kreatif yang langsung di bawah presiden.
Akhirnya, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 00:06 dan itu artinya sudah berganti hari. Meski bukan tanpa catatan, FFI kali ini adalah FFI yang terbaik sejak 2004. Dan saya tetap menghargai dan menghormati keputusan dewan juri FFI yang telah bekerja keras. Oia, sebelum diakhiri ada beberapa usulan untuk FFI
1. Penyelenggaraan FFI sebainya dilakukan di Jakarta, dan sselisih anggaran bisa digunakan untuk workshop atau pemutara film ke daerah-daerah (terinspirasi dari kultwit Joko Anwar)
2. Diadakan kembali pemutaran di bioskop khsusu nominasi dan film terbaik FFI, mengingat film terbaik FFI hampir sebagian besar bukan film yang laris di pasaran, berjaya di panggung namun tidak di bioskop
Akhir kata, berhubung saya sudah ngantuk, saya akhiri tulisan ini. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan. Saya bukanlah siapa-siapa, saya hanyalah pecinta film indonesia yang terus berharap dan berharap akan kemajuan film nasional ke depannya dan berjaya di negeri sendiri serta bisa berbicara di luar negeri.BANGGA FILM INDONESIA.
Karya yang baik, bukan sekedar diakui tapi juga dikonsumsi.