GARUDA SUPERHERO. Itulah salah satu film Indonesia pembuka dari 3 film yang tayang di awal Januari 2015 selain Erau Kota Raja dan Tanah Mama. Ini salah satu film yang saya tunggu semenjak kabar tentang film ini berhembus, hingga akhirnya dijadwalkan tayang mulai Kamis, 8 Januari 2015. Lalu film apakah ini?
Dari judul dan trailer nya mungkin anda bisa menebak bahwa ini film action dengan superhero sebagai jagoan utamanya, ya semisal Batman atau Spiderman lah. Cerita dimulai ketika dunia dikejutkan akan ada asteroid yang menabrak bumi dan menghancurkannya, lalu Indonesia mampu membuat senjata yang mampu menghancurkan asteroid sebelum akhirnya asteroid tersebut masuk ke atmosfer bumi, namun senjata tersebut jatuh ke tangan Durja (Slamet Rahardjo) orang jahat yang ingin menguasai bumi. Tentu senjata tersebut harus direbut kembali namun apa daya tak ada yang bisa melawan Durja, disaat itulah muncul sosok Garuda (Rizal Al Idrus) yang membantu merebut senjata tersebut hingga akhirnya Garuda berhasil merebut dan melumpuhkan kawanan Durja dan cerita ditutup dengan peledakan asteroid oleh Garuda sendiri yang membawa senjata tersebut ke luar angkasa, hebat bukan? Garuda bisa menjadi superhero yang membanggakan bagi Indonesia khususnya Metro City. Memang hebat, asteroid tersebut tidak jadi menabrak bumi namun malah meluluhlantakkan film menjadi berantakan.
TEKNOLOGI
Karena film ini mengklaim film Indonesia pertama yang menggunakan teknik CGI maka teknologi menjadi sorotan utama dalam film ini. Pengguna sosial media terutama twitter banyak yang nyinyir, bahkan baru nonton trailernya saja sudah banyak yang bilang (maaf) tahik/tai. Buat saya kata-kata tersebut memprihatinkan, untuk film horror yang jelas-jelas hanya menjual dada dan selangkangan saja, saya tak berani bilang film itu dengan kata “tai”.
Film dibuka dengan adegan tembak-tembakan, aksi dan lain sebagainya serupa film-film action pada umumnya untuk meyakinkan bahwa film ini akan memacu adrenalin. Namun memang sungguh disayangkan bahwa teknologi yang digunakan masih kasar. Saya memang bukan orang yang berkapasitas dalam hal teknologi, namun sebagai penikmat film rasanya tidak berlebihan jika saya mengutarakan pengalaman menonton saya. Yang paling mengganggu pandangan mata saya adalah, aksi dengan latar tidak nyambung. Tokoh dan latar film kurang selaras, serasa tumpang tindih. Lebih sayangnya lagi hampir seluruh film menggunakan efek visual, bahkan untuk set-set yang nyata pun menggunakan efek visual.
Untuk menggemakan sosok Garuda sebagai superhero, film ini masih kurang berhasil memperkenalkan Garuda. Kenapa demikian, hampir separuh film diisi oleh flashback sebelum Bara menjadi Garuda. Bahkan porsi Garuda menurut saya masih ketutup oleh porsi Durja King. Introduction yang terlalu lama, membuat film ini terlalu cepat selesai apalagi dengan durasi yang singkat, sehingga tidak terlalu terasa bagaimana Garuda itu menjadi Superhero.
MEMUNGKINKAN SEKUEL
Tokoh-tokoh yang muncul dalam film ini masih kurang eksplorasi. Termasuk sosok Garuda itu sendiri. Film dengan durasi sekitar 90 menit harus berbagi waktu memperkenalkan tokoh-tokoh yang banyak. Memang tidak semua harus dieksplorasi minimal tokoh-tokoh yang berada di lingkaran utama Garuda dan Durja. Namun hal ini bisa menjadi kabar baik buat sutradara X-JO atau sutradara lainnya membuat sekuel. Ke depannya sekuel ini bisa dilengkapi dengan Garuda Car, Garuda Motorcycle, jadi Garuda tidak hanya memiliki sayap, tapi juga memiliki peralatan / aksesoris tersendiri. Untuk film ini, jadinya seperti sinetron episode 1, cukup untuk memperkenalkan para tokoh dan sedikit sekali porsi aksi Superhero, namun karena ini film yang sekali tamat, maka satu cerita harus tuntas, lebih baik eksplorasi skenario di action dibanding skenario di hal-hal lainnya. Apa maksud eksplorasi skenario ini? Baca ke bawah ya, hehhe
Sebetulnya skenario yang dimainkan cukup banyak menggunakan twist yang bagus, karena cerita yang bagus itu diawali dengan kenapa lalu kemudian memberikan jawabannya. Sayangnya twist itu banyak dilakukan penulis skenario tidak pada alur utama melainkan pada alur-alur pendukung. Contohnya, tiba-tiba dokter bisa menstop mobil Bara, darimana ia tahu Bara? Bagamana ia bisa bertemu Bara? Bahkan teman saya pun mempertanyakannya, namun semua itu terjawab pada adegan kilas balik. Juga pada adegan dimana ayah Bara yang tiba-tiba sembuh total padahal dokter memvonis koma. Adegan kilas balik lagi.
Menurut saya twist yang bagus bukanlah kejutan kilas balik, itu hanya akan membingungkan penonton dengan alur maju mundur apalagi terlalu banyak dihadirkan dalam film. Twist yang bagus bisa memainkan skenario dan menjebak tebakan penonton. Entah disadari atau tidak, sebetulnya ada twist yang cukup bagus, yakni saat Agus Kuncoro menangkap Alexa Key, dan Agus berujar bahwa nasibmu akan dihabiskan di penjara. Ya pasti penonton akan berpikir Alexa Key akan membusuk di penjara, namun ternyata Alexa Key merebut senjata salah satu pasukan dan akhirnya Agus Kuncoro berhasil menembaknya, itu twist yang cukup bagus, sayangnya eksekusinya terlalu cepat.
Sebagai contoh, Agus Kuncoro bisa membawa Alexa Key keluar, lalu di tengah jalan Alexa Key berusaha merebut senjata pasukan dan berhasil hingga terjadi baku hantam kembali dengan Agus Kuncoro. Dengan adegan diboyong keluar dulu meyakinkan penonton akan skenario Agus Kuncoro bahwa Alexa Key akan membusuk di penjara, bahkan twist ganda bisa dilakukan dalam penulisan skenario, karena untuk memacu adrenalin selain tata musik Aghi Narottama dan tata suara Khikmawan Santosa yang menjadi poin plus dari film ini, harus dilengkapi dengan twist yang ganda. Sebagai referensi film serupa (alur yang serupa) bisa belajar dari film World War Z (Brad Pitt).
Sebetulnya suntingan Yoga Krispratama sudah cukup baik dalam interpretasi cerita, meski sang sutradara banyak menggunakan flashback. Namun satu tokoh di akhir film saya rasa kurang mendapat pengenalan yang cukup, tokoh bapak tua yang mukanya hancur yang tiba-tiba melemahkan Alexa Key dan Slamet Raharjo, lha apa gunanya Garuda Superhero, twist yang mengejutkan memang, namun saya rasa keluar dari alur utama film. Mungkin twistnya bisa diatur seperti ini, isi bapak tua ini bisa menjadi informan kelemahan Durja King, nah Garuda yang tetap melakukan eksekusi atas informasi bapak tua tersebut.
YANG PERTAMA
Tidak mudah diterima menjadi yang pertama, namun yakinlah meski bukan yang terbaik anda akan dikenal sebagai pelopor. Ada Apa Dengan Cinta memunculkan film serupa Tentang Dia, Eiffel I’m in Love, Apa Artinya Cinta?, Heart hingga Love is Cinta. Drama cinta remaja yang tidak lebay, namun jika dilihat dari segi teknis produksi Ada Apa Dengan Cinta tidak sebagus Heart. Namun bagaimanapun Cinta dan Rangga tetap di hati. Begitu juga dengan Petualangan Sherina, memunculkan Denias Senandung di Atas Awan, Anak-Anak Borobudur hingga Di Timur Matahari. Alenia Pictures yang paling sering memunculkan film anak-anak seperti ini, namun sayang perkembangannya tidak signifikan, bisa dikatakan hanya muncul setahun sekali.
Berbeda dengan film horror setelah Jelangkung dan Tusuk Jelangkung, film horror berkembang pesat secara kuantitas namun mengalami pergeseran kualitas yang menurun. Kuntilanak dan seriesnya, Pocong 2, Mirror adalah judul-judul yang masih layak dianggap bagus, namun pergeseran terjadi sekitar 2010/2011 dimana film-film ini dirusak oleh artis-artis dan sutradara kurang tanggung jawab (sorry to say), hantu muncul semenit sekali, dada kemana-mana, belum selangkangan, industri film Indonesia buram.
Pencerahan terjadi tahun lalu, dimana menurut filmindonesia.org, genre horror ter kick off dari 10 film terlaris 2014. Action, Komedi dan Drama Religi apalagi diangkat dari novel masih menjadi jaminan larisnya film Indonesia. Sebut saja Comic 8, The Raid 2: Berandal hingga Hijrah Cinta yang menempati 3 besar film terlaris 2014.
Tahun 2015, Garuda Superhero menjadi pembuka untuk lahirnya film sejenis. Ini yang paling saya apresiasi dari X-JO dan kawan-kawan. Semangat dan spirit ini yang saya tangkap, bukan artinya saya menutup mata dari kekuranan film ini, yang menurut banyak pengamat sepertinya hampir semuanya kurang, tapi perjuangannya ini layak apresiasi.
Jika mendapat sedikit penonton (BTC, 9 Jan 2015, pukul 13.00 WIB hanya 6 orang), memang wajar untuk kelas film perdana. Jangankan X-JO, sutradara Hanung Bramantyo pun yang pada tahun 2013 menyuguhkan Gending Sriwijaya sebagai film kolosal fiksi rasanya sepi peminat, karena masyarakat Indonesia mindsetnya suka nyinyir duluan mending kalau nonton, cuman baca pengamat orang lain sudah merasa paling hebat, bukan berarti saya hebat, namun saya lebih apresiasi mereka yang kritik tapi memang menontonnya bukan berdasarkan review orang lain. Karena percayalah film itu selera, pengalaman kita bisa berbeda-beda dalam menonton film.
Sebulan sebelum Garuda Superhero, ada Pendekar Tongkat Emas yang menawarkan genre berbeda, namun apa, pergerakan penontonnya pun tidak terlalu bagus, orang lebih memilih Supernova, Merry Riana, dan Assalamualaikum Beijing (bukan berarti 3 film ini tidak bagus, bagus semua kok). Saya begitu memuji Pendekar Tongkat Emas, dan terus promo di twitter namun yach, sepertinya tidak akan masuk box office. Begitu juga Garuda Superhero, saya akan membantu Julia Perez untuk promo di twitter, sebelum (ditakutkan) akhirnya turun layar pada kamis depan, karena akan ada dua film yang promonya sangat gencar yakni Dibalik 98 (Lukman Sardi) dan Hijab (Hanung Bramantyo) tayang pada kamis tanggal 15 Jan 2015.
Terlepas dari teknologi dan porsi penceritaan yang kurang dari film ini, ditambah banyak cerita yang sebetulnya bisa dibuang dan alihkan pada penceritaan maksimal sosok Garuda – seperti drama orang tua Bara ala Putri Yang Ditukar, karena tidak memberikan apa–apa pada keutuhan film – saya tetap merasakan adrenalin cerita Garuda Superhero.
Buat saya film ini tetap layak tonton, saya bangga dengan film ini, karena bagi saya film tidak hanya memotret realitas (kebanyakan film) tapi juga menciptakan realitas. Film luar sudah banyak yang menjadi ajang menciptakan realitas sebagai promosi negara, brainwash atau politik. Nah film Garuda Superhero sudah selangkah lebih maju dalam perfilman Indonesia karena mampu menciptakan realitas, karena memang tak adil rasanya jika membandingkannya dengan film hollywood serupa keluaran Marvel Studio.
Yang menarik adalah jika saja ada penghargaan cameo terbaik, film ini banyak menampilkan cameo dan film ini juga cukup membuat fun alias tertawa, action comedy, oia semoga Yusuf Mansyur juga jadi menteri Agama beneran yach, heheheh. Amiin
Akhir kata, terimakasih bang X-JO dan kawan-kawan sudah memberikan suguhan yang beda, meski masih banyak yang kurang terutama cerita dan teknologi, namun ini akan menjadi harapan dan semangat baru bagi perfilman Indonesia, mungkin akan banyak sineas yang latah (khas Indonesia) bikin film serupa tentu harus dengan kualitas sinema yang lebih baik, masih ada Gundala atau bahkan Saras 2015 dan Panji Manusia DPR, upz, bagi anda yang mengkritik wajar-wajar saja kok namun jangan keterlaluan, jangan bikin takut sineas bikin hal baru, masa iya film kita tiap tahun selalu drama berbau “arab”, komedi, horror melulu.
Semoga X-JO berlapang dada atas pro kontra (lebih dominan kontranya – mungkin jumlah yang kontra sebanyak porsi efek visual dalam filmnya) atas film perdananya dan menjadikannya sebagai pecut untuk berkarya lebih baik lagi. Maju terus Garuda Superhero, Bangga Film Indonesia.