Siapa yang menyangka jika seorang “Jenderal Soedirman” dan “Sutan Sjahrir” pahlawan kebanggaan kita menjadi seorang perempuan dan bisa terkena PMS? Rumah produksi MNC Pictures menghadirkannya dalam sebuah film komedi bertajuk 3 Dara.
Film ini mengisahkan tiga orang laki-laki Affandi (Tora Sudiro, “Arisan”), Jay (Adipati Dolken, “Jenderal Soedirman”, “Perahu Kertas”) dan Richard (Tanta Ginting, “Soekarno”, “Surga Yang Tak Dirindukan”) yang selalu menganggap tidak penting seorang wanita hingga akhirnya mereka terpengaruh oleh ucapan Mel (Ayushita, “Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta”) yang mengatakan mereka akan merasakan bagaimana menjadi seorang perempuan yang dipermalukan. Hal itu terjadi karena Mel yang bekerja sebagai pegawai sebuah bar merasa terganggu akibat ulah mereka, khususnya Richard, yang terus menganggunya.
Affandi, Jay dan Richard pun merasa ini adalah kutukan dari Mel. Mereka kemudian berkonsultasi dengan seorang psikolog cantik yang diperankan oleh Rianti Cartwright (“Ayat-ayat Cinta”,”Kabayan Jadi Milyuner”). Tidak puas dengannya mereka menemui Dr. Hengky (Hengky Soelaeman, “7/24”, “Tanda Tanya”) dan mendapat solusi harus operasi kelamin. Wow…? Lalu bagaimana kelanjutan cerita mereka?
Dalam film ini setidaknya ada dua benang merah yang dapat kita ambil. Pertama adalah sikap laki-laki yang mempermainkan wanita, dan kedua laki-laki yang bersifat seperti wanita. Penulis skenario sepertinya ingin mengkorelasikan keduanya menjadi hubungan sebab akibat, bahwa laki-laki yang yang menyepelekan perempuan dikutuk menjadi perempuan agar bisa merasakan perasaan perempuan. Berhasilkah?
Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kita temui ada laki-laki yang juga sering mempermainkan wanita, bisa dengan sikap dingin ala Affandy, menggilai sensual wanita ala Jay, atau playboy ala Richard. Hal yang lumrah dimiliki oleh seorang laki-laki yang memiliki fisik dan pekerjaan yang bagus dan prestisius. Kebalikannya, banyak juga laki-laki yang bersifat lebih halus atau feminim bahasanya, bisa dengan sering menggunakan lipbalm dan begitu memperhatikan penampilannya ala Affandy, mulai merasa risih dengan sensual wanita ala Jay, atau bahkan “baper” menunggu telepon ala Richard. Saya memuji penulis skenario menciptakan ide yang saya rasa brilian dan menarik, menciptakan sebuah realitas baru yang mana dalam kehidupan nyatanya, sejauh yang saya tahu, belum ada teori atau penelitian yang menunjukkan hubungan sebab akibat tersebut.
Sayang seribu kali sayang, ide yang menarik itu sepertinya minim riset dari penulis. Bagian tergagal dari film ini adalah pada penceritaan dan alurnya. Gagal fokus. Alur kesana kemari hingga hilang arah tujuan. Tidak jelas apa yang ingin disampaikan oleh film ini. Bahkan untuk sekedar tertawa pun sepertinya film ini belum mampu menyajikan performa komedi yang utuh. Bagian terbaik dari 3 Dara hanyalah saat mereka nyanyi lagu Raisa “Could It Be” di mobil, dan itu saya akui pecah banget.
Melihat performa pemeranan, saya patut mengacungkan jempol pada usaha ketiga pemeran utamanya. Kekompakan mereka berakting menjadi penguat di film ini. Tora Sudiro sepertinya sudah tidak perlu diragukan lagi untuk peran-peran seperti ini. Imagenya sudah cukup kuat menjadi pria yang feminim, heheheh, silakan saja lihat film-film Tora sebelumnya. Lain halnya dengan Adipati Dolken dan Tanta Ginting. Berbicara Adipati Dolken bayangan kita tidak akan pernah lepas dari sosok Keenan dalam Perahu Kertas dan kerap beberapa kali selalu dipasangkan dengan Maudy Ayunda. Sebelum 3 Dara, Adipati sudah lepas image dalam film Jenderal Soedirman, dan di film ini Adipati kembali diuji kemampuan aktingnya, dan sukses. Lalu bagaimana dengan Tanta Ginting?
Salah seorang teman saya berujar, jika sudah pernah menang dalam ajang penghargaan sebagai Pemeran Pembantu selamanya akan menjadi pembantu. Hal ini bukan tanpa alasan, salah satunya ia bisa kehilangan fokus dan konsentrasi saat scene lebih banyak jika menjadi pemeran utama. Berperan sebagai Sjahrir dalam film Soekarno, Tanta Ginting berhasil menyajikan performa luar biasa dan mendapat penghargaan sebagai Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung 2014 dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik BlackWhite Movie Award 2014. Setelahnya Tanta banyak bermain film dan tampil prima meski sebagai pemeran pembantu seperti halnya duet mautnya bersama Kemal Palevi dalam Surga Yang Tak Dirindukan. Lewat film ini, di antara 3 pemeran utama Tanta Ginting lah yang masih terlihat hambar aktingnya. Tidak ada golden scene yang mampu mencuri perhatian. Padahal dalam film Filosopi Kopi meski hanya muncul satu scene saja, Tanta berhasil menautkan memori para penonton untuk mengingat golden scene tersebut.
Jika memang film ini diniatkan untuk bagaimana seorang laki-laki menghargai perempuan dengan syarat ia menjadi perempuan, 3 Dara sebetulnya bisa bereksplorasi lebih jauh dari sisi psikologi yang di akhir-akhir sering diungkapkan oleh Rianti. Bahwa apa yang 3 Dara alami adalah penumpukan dari rasa bersalah yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu. Cerita film ini sebetulnya bisa berangkat dari sana, dengan sentuhan komedi ilmiah atau komedi full, peran mereka bertiga bisa terus dieksplorasi tanpa harus dengan konfliknya masing-masing. Masalah Affandi dengan istrinya, Jay dengan pernikahannya serta Richard dengan para wanitanya hanya memperlama durasi dan sutradara pun nampaknya tidak berhasil mengolah konflik masing-masing menjadi suatu kekuatan cerita yang utuh.
Jika parameter film komedi adalah tertawa penonton, maka film ini hanya berhasil di beberapa bagian saja. Selain adegan nyanyi lagu Raisa di mobil, scene Jay saat diketahui pertama kali dia mengalami PMS dan yang pertama menjadi perempuan di antara 3 Dara, cukup patut diapresiasi, Adipati begitu total, namun selebihnya mohon maaf, 3 Dara hambar.
Overall, ide film ini layak apresiasi di tengah maraknya film adaptasi novel atau tokoh terkenal. 3 Dara menawarkan cerita asli yang menarik, sayangnya pengemasannya kurang cantik dan gagal fokus. Ibarat lagu Armada, 3 Dara, Mau dibawa kemana?. Untung ada Bambang.
Bagian terbaik dari 3 Dara adalah adegan Affandi, Jay & Richard nyanyi lagu Raisa di mobil, selebihnya hambar. Penceritaan pun bermasalah namun sedikit termaafkan dengan performa ketiga pemeran utama yang kompak.