Selain SITI, film yang bikin publik penasaran pasca pengumuman nominee Festival Film Indonesia 2015 beberapa bulan silam adalah A Copy of My Mind (selanjutnya ACOMM). Bukan hanya menguasai nominee tapi juga berhasil merampok 3 piala citra yakni Penata Suara Terbaik, Sutradara Terbaik (Joko Anwar) hingga Pemeran Utama Wanita Terbaik (Tara Basro). Film ini pula baru ditayangkan secara reguler pada 11 Februari 2016 kemarin, itu artinya bisa dikatakan FFI jadi ajang promosi gratis bagi ACOMM. Joko Anwar sang sutradara pun sering sekali ngeTweet tentang film ini. Lalu seperti apa filmnya?
ACOMM bercerita tentang dua tokoh, Sari (Tara Basro) dan Alex (Chico Jericco). Sari adalah pegawai sebuah salon yang memiliki impian sederhana yakni ingin punya home theater di kost-annya hingga ia nekat pindah kerja ke salon yang lebih bergengsi. Sementara, Alex yang tanpa identitas (tanpa KTP, tanpa SIM) adalah seorang penerjemah subtitile DVD bajakan.
Lebih dari 60 menit (yang artinya separuh film) dihabiskan untuk eksplorasi sosok Sari dan Alex hingga pertemuan keduanya. Sari saat itu protes karena terjemahan DVD yang ia beli, ngaco. Merasa tidak ditanggapi komplainnya, Sari pun mencuri DVD dari toko tersebut yang dilihat oleh Alex yang saat itu sedang ada di toko DVD bajakan tersebut. Alex pun mengikuti Sari hingga akhirnya takdir mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan seks (tanpa nikah). Yach terus aja ceritanya muter-muter sekitar situ yang menurut saya terlalu lama untuk diceritakan. Tapi apakah semuanya ada keterkaitan dengan inti cerita?
Konflik mulai memuncak saat Sari ditugaskan untuk facial seorang tahanan wanita di penjara. Gokilnya Sari, ia mencuri satu dvd dari etalase tahanan tersebut. Wow, ternyata DVD tersebut adalah video penting tentang bobroknya para pejabat negeri ini. Alih-alih ini akan menjadi konflik utama film, justru politik negeri hadir sebagai drama satu babak yang tak jelas pengolahannya serta penyelesaiannya.
ACOMM memang menghadirkan sisi Jakarta secara lebih jujur, setidaknya menurut saya yang cuma pernah tinggal di ibu kota selama 18 bulan saja. Adanya kost-kostan kumuh, pasar tradisional, jalanan, gang-gang sempit, warteg dan lain sebagainya. Penata kamera film ini sukses menghadirkan Jakarta dengan sisi lainnya, meski kehidupan seperti ini bukan pertama kalinya dilukiskan dalam sebuah film. Jakarta Undercover dan Jakarta Magrib justru tampil lebih baik dari film ini.
Kita lupakan sejenak potret Jakarta ala ACOMM. Kita bahas chemistry antara Alex dan Sari. Kamu boleh searching tentang ACOMM ini akan banyak pujian terutama pada chemistry kedua pemeran utamanya. Wah chemistry yang mana? Dua kali adegan “intim” tanpa sensor ternyata sukses mengantarkan Tara Basro mencuri (lagi lagi mencuri) piala citra Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2015 memencundangi Dewi Sandra (Air Mata Surga), Marsha Timoty (Nada Untuk Asa) hingga Adinia Wirasti (Kapan Kawin?). Pendapat saya, sekali lagi pendapat saya, tidak ada yang spesial dari Tara Basro (selain desahan orga*me) tentunya, bahkan menurut saya, SEKAR SARI yang berperan sebagai Siti dalam film SITI justru layak masuk nominee bahkan menang.
Kenapa ya FFI 2015 tidak memasukkkan Sekar Sari ke dalam nominee? Apa karena tidak populer?
Bicara sensor, boleh dong jika saya pertanyakan, film MidNight Show yang dilabeli 21+ saja masih kena pisau sensor untuk adegan gorok-gorokan, padahal ya memang film thriller isinya ya itu. Tapi ACOMM, dilabeli 17+, adegan bok*pnya bisa lulus sensor, padahal sumpah menurut saya scene itu sama sekali tidak ngaruh bahkan tidak pula memperkuat jalinan cerita. Jadinya, pas adegan yang kemudian dilanjut dengan suara adzan subuh itu bikin penonton (termasuk saya, wkwkwkwk) merem melek, terlebih penonton hijabers yang geli geli gimana gitu. Hahahahha. Rasanya, orang yang nonton film ACOMM, justru akan lebih inget bagian ini dan lupa bagaimana seharusnya keutuhan jalan cerita film tersebut. Tapi sumpah, Tara Basro eksotis banget, meski jalannya ngangkang hahahahah.
Jadi ACOMM ini film apa sich sebetulnya? Saya melihat meski ini fiksi tapi saya serasa nonton film dokumenter. Ide ceritanya bisa saya bilang briliant dan kreatif, sayangnya kebablasan. Jika dibilang ini film yang nyindir kondisi perpolitikan Indonesia (katanya seperti kapsul waktu), nyatanya politik hanya dijadikan latar yang tidak dieksplorasi lebih jauh. Ini hanya kisah Alex dan Sari yang romantis, ah, nggak romantis-romantis amat kok ditambah dengan editing yang beberapa kali aduh ganggu, kasar banget, pusing pala barbie. Apalagi saat scene Sari facial tahanan di penjara ganggu dech say.
Begitulah kesan saya terhadap ACOMM, nantinya gara-gara tulisan ini mungkin saya harus dilestarikan karena termasuk spesies langka yang tidak suka terhadap film ini di tengah banjir pujian yang mengalir di lini masa. Ah, atau memang ekspektasi saya yang terlalu tinggi atau memang justru tawarannya yang terlalu tinggi dari pihak pembuatnya? Ah mas Joko *sambil ngedesah*.