Sejak kemunculannya di nominasi Festival Film Indonesia 2017, film Posesif langsung menjadi buah bibir. Kali ini, Posesif adalah satu-satunya film yang belum tayang di bioskop secara nasional namun sudah menyabet 10 nominasi FFI 2017. But, saya tak akan membahas arus kontroversial film Posesif-nya melainkan hanya pengalaman saya nonton Posesif.
Posesif bercerita mengenai kisah asmara remaja SMA, Yudhis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino). Kisah asmara akhirnya membawa mereka pada cerita-cerita yang memilukan, mencekam pun mendebarkan namun sesekali pun manis (bagi mereka tentunya).
Ditinjau dari akar katanya, posesif bisa diartikan “bersifat menjadi pemilik, mempunyai sifat cemburu”. Yudhis adalah cinta pertama Lala, lalu Yudhis ingin selamanya memiliki Lala. Film yang disutradarai oleh Edwin ini terlalu dini menyeret saya pada konflik yang dihadirkan dalam hubungan Yudhis dan Lala.
Selanjutnya, Posesif bergulir mencekam seiring dengan perubahan sikap Yudhis yang penuh kekerasan secara fisik, lalu ia meminta maaf dan mengulanginya kembali.
“Ia bukan jahat, hanya rumit”
Orang-orang seperti Yudhis memang ada. Terkadang kekerasan atau sifat merasa ‘memiliki’ yang berlebihan terjadi karena lingkungan keluarga yang bermasalah. Yudhis menjadi tidak mampu mengelola emosi karena di rumah pun ia mengalami masalah. Bersama ibunya (Cut Mini) Yudhis menjalani kehidupannya. Menurutnya hanya dia yang menyayangi Yudhis. Ini menjadi bagian terbaik dari film Posesif tatkala saya (bersama Lala) diajak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Yudhis dengan keluarganya.
Sumber: Capture Trailer |
Beralih pada Lala. Ia hidup bersama ayahnya seorang pelatih atlet loncah indah. Ayahnya (Yayu Unru) menginginkan Lala seperti ibunya (sudah meninggal) untuk menjadi atlet yang profesional. Hubungan dengan ayahnya seperti hanya sebatas atlet dan pelatih bukan anak dan orangtua. Bisakah ayahnya dikatakan posesif terhadap Lala? Merasa memiliki dan menentukan yang terbaik untuk Lala dari sudut pandangnya sendiri?
Yudhis yang posesif terhadap Lala sering cemburu terhadap teman-temannya hingga Yudhis pun nekat mencelakai temannya, lambat laun Lala ‘menikmati’ posesifnya Yudhis. Berkali-kali hubungan mereka berada pada pola berantem-kekerasan-maaf-balikan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk kabur dari kedua orang tua masing-masing.
Lagu ‘Dan‘ milik Sheila on 7 menjadi saksi dua insan remaja yang saling mencintai dan saling posesif antara satu sama lain. Kenyamanan sudah mereka temukan. Penulis skenario, Gina S. Noer, menulis film ini dengan sangat lihai memainkan emosi, mengombang-ambingkan perasaan di tengah ketidakpastian rasa yang mereka miliki.
Patut diapresiasi dari Posesif adalah berani membuat latar cinta remaja SMA dengan sisi kelam dari sebuah hubungan. Edwin juga lihai membingkai informasi-informasi yang ingin disampaikan dalam film ini dengan simbol-simbol dan dialog yang eksplisit. Penataan kamera pun mengikuti dengan baik keinginan film. Posesif menjadi salah satu film Indonesia tahun ini yang dikerjakan rapi dari segala sisi.
Sumber: Capture Trailer |
Berbicara film Indonesia dengan tokoh utama sepasang remaja dengan latar sekolah, tahun ini ada pula Galih & Ratna dan Dear Nathan. Yang menjadikan kuat film-film remaja seperti ini tentu visi sutradaranya, Jika Dear Nathan lebih mengambil jalur mainstream yang pastinya akan membuat ‘baper’ lebih banyak orang, Posesif mengambil jalur lebih ekstrem serupa dengan Galih & Ratna yang menjadikan musik/kaset sebagai visi utamanya.
Dari penelusuran dan pembicaraan dengan teman-teman di WAG (Whatsapp Group), Edwin ini adalah sutradara yang karyanya sudah malang melintang di festival Internasional dan Posesif dikatakan karya pertamanya yang masuk layar lebar dan lebih ngepop. Sayangnya, saya belum pernah menonton satu pun filmnya sebelum Posesif.
Terlepas dari itu, sebagai film pertama yang saya tonton dari sutradara Edwin, Posesif menjadi film yang layak apresiasi. Meski secara pribadi tak meninggalkan kesan, tapi kehadirannya di film Indonesia tak bisa diabaikan.