“Meski baru sebatas bahasa, niatan Yowis Ben dalam memperkaya Film Indonesia dengan muatan lokal sungguh sangat layak diapresiasi”.
Di sebuah sekolah selalu saja ada siswa yang cantik tapi sombong, ganteng tapi belagu, cantik/ganteng dan baik pula, ada juga yang cupu yang selalu jadi bahan hinaan dan olok-olokan teman-teman lainnya, ditambah dengan keadaan keluarga dan tampang yang pas-pasan. Mengkhawatirkan? Ya, mengkhawatirkan, tapi ada jenis siswa yang lebih mengkhawatirkan daripada itu. Seperti apa? Simak terus untuk tahu jawabannya.
Adalah Bayu (Bayu Skak) yang hidup bersama ibunya seorang penjual pecel. Hingga di sekolah pun ia sering dijuluki “Pecel Boyz”. Babak awal film menunjukkan Bayu dibully di depan siswa lainnya. Puisi yang ia tulis untuk Stefia (Devina Aurel – cewek yang ia taksir) dibacakan di depan kelas. Kepalang tanggung malu, Bayu pun menanggapinya, “Jadi aku diterima, engga?”. Sudah tahu dong jawabannya apa?
Di sekolah ia berteman dengan Doni (Joshua Suherman). Ia pun memiliki masalah sendiri, namun bukan di sekolah, lebih ke orangtuanya yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya.
Bayu butuh eksistensi di sekolah, Doni butuh pengakuan. Bagaimana mereka akhirnya memperjuangkannya?
Tak bisa dipungkiri menjadi anak band di sekolah adalah salah satu cara menaikkan gengsi. Cewek pun biasanya akan lebih nempel pada cowok yang jago beraksi di panggung daripada yang pintar matematika. Cara ini yang dipilih Bayu dan Doni untuk pembuktian. Dengan melalui serangkaian audisi untuk personil lainnya, terpilihlah Nando (Brandon Salim) sebagai keyboardist dan Yayan (Tutus Thomson) sebagai drummer.
Proses seleksinya pun sumpah mengundang tawa yang membahagikan. Susah diceritakan silakan tonton saja ya. Namun yang pasti, perlu diketahui masih ada cowok ganteng yang ingin diakui lewat karyanya dan jangan pernah sekali-kali remehkan penabuh bedug masjid. Eaaa!
Sampeyan pisanan manggung dhisik, ya yen gagal, normal. Ora ana crita ing donya iki sing sepisanan nyoba sukses – CMIIW
Kegagalan manggung pertama Bayu dan teman-temannya sempat membuat mereka nyaris menyerah. Dengan saling menyemangati satu sama lain, mereka berpikir keras mencari cara lain untuk menunjukkan skill yang mereka punya. Diawali dengan video nasyid yang Yayan tonton, mereka inisiatif untuk membuat video klip.
Masalah datang lagi, ketika mereka harus membeli kamera yang harganya lumayan mahal untuk kantong mereka. Setelah mereka mencari-cari kamera standar yang low budget, didapatlah angka 4 juta. Yowis patungan saja. Agak bolong sih di sini. Kecuali Bayu yang diceritakan bagaimana ia mendapat uang sejuta, teman-teman lainnya selesai dengan narasi. Moment Bayu begitu menyentuh dan membuat saya sedikit mengeluarkan air mata, sementara usaha teman-teman lainnya tak disentuh lagi hingga akhir film.
Film Yowis Ben juga menyoroti perbedaan karakter masing-masing individu dengan dinamis dan konsisten. Akan ada saatnya di mana mereka terkenal melalui video klip yang mereka unggah ke youtube, beriringan dengan sikap egois Bayu yang sudah tidak ingin lagi berkompetisi di dunia nyata. Baginya, viewers banyak dan ngisi pensi (pentas seni) di sekolah sudah cukup.
Adalah Susan (Cut Meyriska) penyebab Bayu bersikap demikian. Selepas dibully Stefia, Bayu merasa menemukan angin segar, tatkala Susan, cewek cantik di sekolah, mendekatinya. Padahal Susan, mendekatinya hanya untuk memanfaatkannya. Inilah motif utama Bayu membentuk band. Sukses band yang digawanginya terkenal, Susan pun mudah didapatkannya.
Karakter Susan memang terasa mainstream untuk membuat sang tokoh utama memilih antara cewek atau band. Sayangnya, Cut Meyriska kurang bisa deliver dengan baik. Selain tidak berlogat Jawa (entah diniatkan begitu), Cut Meyriska seperti kebingungan dalam memahami karakternya. Namun ada saatnya, Cut Meyriska berucap “Jancuk!” dan ini adalah moment terJancuk dari semua Jancuk yang ada di film Yowis Ben. Jancuk!
Tentunya saya tetap menunggu aksi Cut Meyriska di layar lebar selepas meraih penghargaan Pemeran Wanita Terpuji kategori Serial Televisi di Festival Film Bandung tahun lalu.
Film yang sebagian besar berbahasa Jawa (dengan subtitle Indonesia) ini masih bisa saya nikmati yang tidak terlalu paham bahasa Jawa. Penulis skenario, Bagus Bramanti & Gea Rexy (Dear Nathan) pandai memilih diksi yang justru jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia belum tentu Yowis Ben akan semenarik ini. Dengan mengambil lokasi di Malang, bahasa Jawa justru menjadi point lebih untuk film ini.
Nuansa komedi dalam film Yowis Ben hadir menarik dengan banyaknya tambahan karakter-karakter pendukung. Tukang becak (yang sebelumnya gila di Moammar Emka’s Jakarta Undercover), para pelanggan pecel di warung ibunya Bayu, penyiar radio, tukang cilok, satpam sekolah hingga para juri audisi hadir sesuai porsi di bawah arahan Fajar Nugros yang makin dewasa dalam mengarahkan adegan.
Sempatkan sholat jika sudah waktunya. Ucapkanlah salam dengan kalimat lengkap, Assalamualaikum dan atau Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jangan cuman “mikum” saja.
Gara-Gara Susan
Suatu waktu Susan diajak Bayu latihan bersama bandnya. Doni yang sudah kesal dengan perubahan sikap Bayu meminta Susan keluar dari studio karena ada masalah internal yang ingin dibahas hanya oleh anggota band. Tak disangka, Susan marah. Ia kembali lagi pada Roy (Indra Wijaya), cowok ganteng yang juga vokalis band saingan Bayu. Bayu sadar, ia hanya dimanfaatkan oleh Susan. Bayu menjadi pribadi yang tidak karuan dan sering marah-marah.
“Ibu ora ngerti apa masalah sampeyan, nanging ibune ngerti sampeyan putra ibu. Apa sampeyan ngerti apa sing mbebayani? Ya, yen sampeyan ora bisa tanggung jawab kanggo urip sampeyan dhewe”.
Entah kenapa moment Bayu bersama ibunya (Tri Yudiman) selalu mengundang haru. Memang kalau jam terbang seorang aktor nggak bisa dibohongi. Tak peduli ia diberi jatah scene berapapun, totalitas adalah hal mutlak. Good job, bu! Tapi please jangan minta disisirin ya, mending kirim pecel ke kost saya. Heheh.
Sebagai debut perdana Bayu Skak sebagai sutradara (bersama Fajar Nugros), Film YoWis Ben terbilang menyegarkan. Film produksi Starvision ini hadir dengan drama klasik kisah remaja masa SMA yang dikemas dengan natural.
Lalu bagaimana akhir kisah Susan dan Bayu?
Bayu dan teman-temannya akhirnya mengikuti kompetisi lagi. Lagu akhir yang terinspirasi dari keisengan Doni bersenandung adalah lagu yang betul-betul klimaks dari lagu-lagu sebelumnya. Vokal Joshua menambah sedap lagu tersebut. Untuk pertama kalinya, saya turut bernyanyi lagu berbahasa Jawa tersebut. Salut untuk pembuat lagu dan musik yang digunakan dalam Yowis Ben, penempatannya pun tepat, menarik dan betul-betul menjadi nyawa bagi Yowis Ben. Ora iso turu aku.
Film Yowis ben akhirnya menjawab bahwa menjadi ego bukanlah hal yang baik. Menjadi diri sendiri dan tampil apa adanya dengan terus memperjuangan mimpi adalah hal yang terpuji. Tidak usah minder dengan fisik yang dirasa kurang, tak usah sombong dengan paras cantik/ganteng yang diberikan Tuhan. Semua itu tergantung sikap dan attitude yang hadir dalam diri. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Aku jadi kasihan sama kamu. Kamu ngemis-ngemis sama semua orang, agar kamu dianggap penting”, ucap Bayu pada Susan di salah satu scene.
Inilah yang lebih mengkhawatirkan. Be your self dan perjuangkan mimpi.
Spoiler Alert! Yowis Ben adalah nama band Bayu dan teman-temannya. Proses penamaan band ini sungguh menarik. Penasaran, tonton filmnya segera di bioskop.