“Yang paling menyebalkan dari Benyamin Biang Kerok adalah mendapati filmnya distop tatkala sedang asyik-asyiknya lalu disuruh nunggu hingga Desember 2018”
Kesuksesan Warkop DKI Reborn part 1 & 2 yang jika diakumulasikan menghasilkan lebih dari 10 juta penonton, sepertinya membuat Falcon Pictures ketagihan menghadirkan sosok legenda komedi Indonesia dengan versi baru. Terbaru di layar lebar adalah sosok Benyamin yang dihadirkan kembali dengan salah satu judul filmnya, Benyamin Biang Kerok (1972). Tak tanggung-tanggung, aktor Reza Rahadian didapuk sebagai Benyamin dan disutradarai oleh salah satu sutradara terbaik negeri ini, Hanung Bramantyo.
Bagaimana Benyamin versi Hanung?
Film dibuka dengan adegan Pengky (Reza Rahadian) dengan wajah Tora Sudiro menyusup ke Casino milik Said (Qomar) dengan alasan memenangkan uang sebanyak-banyaknya. Uang itu dibutuhkan Pengky untuk membebaskan salah satu pemukiman warga yang akan digusur. Dengan bantuan Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti), Pengky berhasil membawa kabur uang Casino lalu mereka pun pergi ke pasar malam dan langsung nyanyi Ondel-Ondel. Eaaaaa!
Dari awal film kita sudah diperlihatkan bagaimana film ini mencampurkan fiksi ilmiah, komedi dan musikal. Bisa dibilang ini adalah genre baru bagi Hanung Bramantyo. Menggarapnya tentu memiliki tantangan tersendiri mulai dari menjaga betul agar sosok Benyamin hidup kembali sebagaimana ia telah sukses meng-kloning Habibie, men-direct banyak penari latar yang mungkin harus take beberapa kali hanya untuk scene berapa menit saja hingga bagaimana menjaga kearifan lokal tetap konsisten meski dalam balutan modern.
Tantangan tetaplah tantangan. Setiap film pasti punya tantangan. Sayangnya, tantangan Benyamin Biang Kerok tidak berhasil (kalaulah tak ingin dikatakan gagal) ditaklukkan oleh seorang Hanung. Cerita yang absurd, struktur logika yang tak jelas serta arah film yang juga entah mau di bawa kemana.
Benyamin Biang Kerok adalah kesempatan emas melihat adegan nyanyi yang muncul tiba-tiba setelah beberapa sekuens berjalan tanpa pernah betul-betul nyambung dengan ceritanya.
Cerita yang absurd ini tercermin dari motivasi Pengky yang menyusup ke Casino untuk tujuan mendapat uang, lalu kemudian misi menyelamatkan kekasihnya dari tawanan Said, ternyata Said adalah pesaing bisnis ibunya Pengky (Meriam Bellina) hingga akhirnya Pengky pun terjebak dalam lingkaran Said yang mau tidak mau membuat ibunya meminta bantuan pada ayahnya Pengky (Rano Karno) alias suaminya yang sudah bercerai. Ditambah dengan munculnya wanita harimau pemakan manusia dan tinju terbang ke atas langit hingga ditabrak pesawat terbang. Wakwaw lah.
“Tak ada kisah apapun dari Benyamin Biang Kerok yang berhasil terkoneksi. Saya tidak pernah betul-betul merasakan bagaimana proses Pengky dengan Aida (Delia Husein) dari mulai bertemu hingga tiba-tiba jatuh cinta”.
Sepanjang film saya masih didera rasa tak percaya kalau ini film besutan Hanung. Belum lagi film ini dipotong begitu saja di tengah-tengah seperti sinetron di televisi. Hanung jelas tidak mempertahankan pembabakan film ini. Benyamin Biang Kerok jadinya seperti pembohongan publik tidak seperti Warkop DKI Reborn yang sejak awal mengaku dirinya memang dibagi dua. Jadinya film ini seperti memanfaatkan nama Benyamin hanya untuk mendulang rupiah saja. May be.
Di tengah rasa ketidakpercayaan, Benyamin Biang Kerok masih memberikan secercah cahaya. Hanung masih memberikan signature dirinya pada film ini. Kritik atas isu-isu sosial mulai dari isu blogger yang review produk kosmetik, praktik korupsi dan suap di pemerintahan hingga filosopi “manusia yang bermanfaat” masih Hanung lontarkan dalam film ini.
Ditinjau dari departemen akting pun, Benyamin Biang Kerok punya bahan bakar yang siap meledak. Reza Rahadian tak usah ditanya lagi. Usahanya menghidupkan tokoh Benyamin patut diapresiasi. Sederet pemain senior seperti Lidya Kandau, Meriam Bellina, Rano Karno hingga pemeran pendukung lainnya bermain apik sesuai porsinya. Kredit khusus saya berikan pada Omaswati yang akhirnya memberikan saya gelak tawa paling menggelegar setelah sebelumnya saya hanya terduduk lesu di kursi bioskop nyaris tanpa ekspresi.
Apresiasi akting tertinggi saya berikan pada Qomar yang sangat sukses memerankan bos judi dengan begitu memukau. Terlebih saat Pengky menyamar menjadi dirinya, Qomar memerankan Pengky justru lebih baik daripada Reza Rahadian memerankannya. Heheh.
Akhir kata, saya hanya ingin bilang, dari semua film yang pernah dibuat Hanung tak ada satu pun yang saya kasih warna merah, hampir semuanya hijau. Kalau pun ada kuning, itu hanya beberapa film saja seperti Menebus Impian (2010) dan Jomblo (2017). Namun karena hidup harus lengkap, maka Benyamin Biang Kerok adalah rapor merah pertama untuk Hanung dan saya ragu untuk menonton lanjutannya. Cukup!
“Sebagai film fiksi ilmiah absurditas dalam Benyamin Biang Kerok adalah sesuatu yang menarik. Kesalahannya, sebagai film komedi film ini nggak ada lucu-lucunya”