Tidak banyak mendapat pujian dari penonton, pun bukan termasuk film yang laris. Tapi The Sacred Riana percaya diri untuk bikin sekuel. Saya menyebutnya godek dan pemberani.
Nama Sacred Riana mulai dikenal publik setelah ia memenangkan ajang pencarian bakat Asia's Got Talent 2017. Terlebih dengan ciri khas kepala godek dan rambut yang menutupi separuh wajahnya, membuat penampilan Sacred Riana di atas panggung serasa seperti atraksi setengah horor.
Karena itulah, melihat sosok ilusionis berbakat tersebut, sutradara Billy Christian (Rumah Malaikat, Petak Umpet Minako) pun tertarik membuatkan film horor tentang Sacred Riana. Dengan tajuk The Sacred Riana: Beginning, film ini akan menguak asal-usul kenapa Sacred Riana punya kemampuan yang mengantarkannya meraih juara di ajang tersebut.
Tapi sayang beribu sayang...
Kenapa cerita filmnya seperti nggak mengandung motivasi?
The Sacred Riana: Beginning dibuka dengan masa kecil Riana yang dirisak oleh teman-teman sekolahnya. Di rumah pun ia nggak punya tempat berbagi. Orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Ibunya Riana adalah seorang perias jenazah, sementara bapaknya pembuat peti mati.
Gimana nggak seram kalau latar belakang keluarganya aja sudah begini? Keseraman di rumah Riana masih ditambah pula dengan kemampuannya melihat hantu-hantu. Catat itu, hantu-hantu. Jadi bukan cuma satu hantu doang yang numpang tinggal di rumah Riana.
Cerita lalu berpindah pada Om Johan (kakaknya ayah Riana) yang harus pergi ke Eropa. Tapi sebelum hijrah, Om Johan memaksa adiknya, Januar, untuk menempati rumahnya. Alhasil pindahlah Januar, Irma (istrinya), dan tentu saja Riana.
Saat pindah ke rumah Om Johan-lah petualangan horor Riana dimulai.
Sampai ke bagian itu, sebenarnya nggak ada masalah berarti di film ini. Tapi ketika adegan-adegan mistis di The Sacred Riana mulai muncul, saya menemukan hampir semuanya nggak disisipi motivasi yang kuat. Cerita berjalan apa adanya, terlihat seperti nggak ada arahan. Sebuah film (termasuk horor) memang nggak harus menuruti logika nyata, tapi ia harus mampu menciptakan logikanya sendiri.
Sayangnya The Sacred Riana gagal membangun logika dunianya sendiri. Film ini bisa saja bergerak pada ranah horor fantasi yang menjanjikan karena elemen fantasi dan dunia nyata dibedakan dengan warna dan latar yang jelas.
Setiap kali adegan seram muncul, warna dan latar layar berubah menjadi gelap, menunjukkan bahwa adegan tersebut adalah fantasi. Lalu warna dan latar kembali seperti semula ketika adegan berada di dunia nyata. Namun pembedaan tersebut nggak pernah konsisten. Ada banyak adegan yang secara logika terjadi di dunia nyata, tapi warna dan latar tetap gelap.
Nggak hanya itu, The Sacred Riana diperparah juga dengan keputusan-keputusan konyol karakternya yang nggak dikuatkan oleh pembangunan cerita. Keputusan Bu Klara (Aura Kasih) yang meninggalkan salah satu karakter yang sedang terluka parah adalah salah satu contoh betapa buruknya film ini dalam menyusun naskah.
Dan klimaksnya pun betul-betul nggak bisa dimengerti akal sehat. Salah satu karakter digambarkan berhasil menghancurkan hantu utama, Bava Gogh. Tapi cara yang dilakukannya terlalu tiba-tiba dan nggak pernah dijelaskan sebelumnya.
Jajaran aktor yang memberi impresi gagal
Cerita yang konyol dan mengabaikan logika tersebut diperlengkap oleh penampilan buruk dari aktornya. Bukan satu atau dua saja aktor yang bermain buruk di film ini, hampir semuanya lepas kontrol. Mereka seperti nggak mengerti suasana yang ada di film ini.
Aura Kasih yang nyaris muncul di sepanjang durasi menampilkan akting terburuk sepanjang kariernya. Kamu bisa lihat buktinya dari ekspresi Aura Kasih yang datar-datar saja ketika melihat anak didiknya kesurupan. Padahal saat kesurupan, suara anak didiknya yang cewek berubah jadi suara cowok. Kalau saya ada di situasi seperti itu, saya bakal ketakutan setengah mati.
Tapi kenapa Aura Kasih terlihat seperti sadar betul sedang melihat orang yang lagi syuting? Dengan ekspresinya yang kurang meyakinkan, apa seharusnya saya bergidik ngeri saat melihat adegan kesurupan itu? Nggak, saya nggak merasa takut.
Serupa dengan Aura Kasih, kehadiran karakter lainnya seperti Lusi (Agatha Chelsea), Hendro (Angrean Ken), dan Anggi (Ciara Nadine Brosnan) hanya membawa The Sacred Riana ke lembah keterpurukan. Terlebih karakter Lusi yang dibuat untuk merayu Hendro sangat gagal dibawakan oleh Agatha Chelsea. Alih-alih terkesan sebagai kode rayuan, gombalan Lusi lebih terdengar seperti omongan kosong tanpa makna. Beruntung ada ekspresi dan celetukan dari karakter Anggi yang membuat suasana adegan jadi lebih cair.
Sementara untuk akting Sacred Riana sendiri saya nggak bisa menilainya lebih jauh. Karena sepanjang film ia hanya berakting menjadi dirinya sendiri sebagai tokoh yang irit bicara. Apalagi kalau menilai akting Prabu Revolusi dan Citra Prima yang berperan sebagai orangtua Riana. Mereka hanya diperlihatkan di bagian awal, lalu dihilangkan perannya dengan sebuah adegan klise. Dan parahnya sampai film berakhir karakter mereka nggak dimunculkan kembali.
Sebetulnya The Sacred Riana menyimpan potensi yang bagus dari departemen visual dan artistiknya. Tata rias dan makeup hantu dibuat sangat khas sekali, cukup menimbulkan efek seram. Permainan warna dan pergerakan kamera pun cukup sedap untuk dinikmati.
Atas kerja keras bantuan departemen visual, banyak adegan film ini yang betul-betul terlihat keren. Seperti adegan di pasar malam yang memperlihatkan bagaimana para karakter berlarian menghindari serangan hantu. Ada pula beberapa adegan lain yang membuat saya seperti sedang menonton show Sacred Riana di atas panggung. Menyeramkan dan menakjubkan.
Dengan durasi selama 111 menit, The Sacred Riana jadi terasa membosankan dan bertele-tele akibat pengarahan yang nggak menentu. Baik pengarahan terhadap para pemainnya maupun visi cerita filmnya, dua-duanya kurang memuaskan.
Tapi saya beruntung bisa nonton film ini, karena akhirnya saya tahu kenapa kepala Sacred Riana godek-godek. Coba tebak, menurut kamu kenapa?