Saya memang sangat menaruh perhatian lebih pada film-film yang memuat kearifan lokal Indonesia. Apalagi jika yang diangkat adalah budaya yang dekat dengan kehidupan saya sehari-hari. Film terbaru dari Andibachtiar Yusuf, sutradara Love for Sale ini, memenuhi keduanya. Ia mengangkat budaya Batak ke dalam filmnya. Maka nggak sulit untuk saya meringankan kaki melangkah ke bioskop untuk menonton Pariban: Idola dari Tanah Jawa.
Film ini mengisahkan tentang seorang Halomoan (Ganindra Bimo) anak muda sukses keturunan Batak yang tinggal dan besar di Jakarta. Di usianya yang sudah 35 tahun ia belum juga menikah. Hal ini membuat sang ibu (Lina Marpaung) cukup khawatir. Bahkan sang ibu kerap kali bertanya kepada Moan apakah ia penyuka sesama jenis.
Bukan..bukan.! Moan punya 7 pacar cewek yang ia bagi berdasarkan hari. Secara finansial pun ia nggak kekurangan suatu apa pun. Ia memang hanya nggak mau saja dan masih senang menikmati kesendirian dan kekayaannya.
Diminta menjemput pariban-nya di Toba Samosir
Usaha terakhir yang dilakukan Ratu Inggris (panggilan Moan untuk ibunya) adalah meminta Moan pulang ke Toba Samosir untuk berkenalan dengan paribannya. Dalam budaya Batak, sederhananya pariban adalah sepupu yang boleh dinikahi. Konsep perjodohan semacam ini memang menjadi adat dan tradisi orang Batak. Lebih lanjut mengenai pariban sila googling sendiri ya.
Setiba di Toba Samosir saya menaruh harapan besar akan visi film yang menyoroti fenomena perkawinan adat ini. Saya pernah terpukau bagaimana film Uang Panai menyoroti adat perkawinan Makassar yang mengharuskan laki-laki membayar mahal untuk mempelai wanita. Dalam film ini, sang sutradara melakukan kritik sosial terhadap adat dengan dasar agama.
Menjadikan Batak sebagai guyonan semata
Konsep pariban menjadikan Moan menjadi kuasa dan percaya diri untuk menggaet paribannya, Uly. Tapi perjalanannya nggak berjalan mulus. Ada satu pemuda lokal bernama Binsar (Rizky Mocil) yang begitu mencintai Uly dan begitu menginginkan Uly. Akhirnya Uly dihadapkan pada pemuda lokal yang sudah lama saling mengenal atau harus tunduk pada adat alias mengikuti paribannya.
Karakter Uly yang diperankan Atiqah Hasiholan ini mengingatkan saya pada karakter Laila (Nirina Zubir) di film Liam & Laila. Film ini pun menyoroti fenomena perkawinan adat daerah Minangkabau. Maka hal seperti inilah yang saya harapkan pada Pariban: Idola dari Tanah Jawa.
Harapan saya akan Pariban sebetulnya sudah menemui titik terang sejak awal film. Pariban menaruh nama Atiqah Hasiholan di urutan pertama. Karenanya Atiqah yang digambarkan sebagai gadis cantik nan pintar ini diharapkan menjadi poros utama penceritaan dalam menyoroti konsep pariban ini.
Sayang seribu sayang, film produksi Stay Connected Media ini nggak punya penekanan khusus terhadap konsep pariban ini. Alih-alih melakukan kritik atau memberikan pandangannya, film malah mengisi sebagian besar durasi dengan komedi situasi orang Batak. Mulai dari kebiasaan mereka, kosakata dan bahasa, hingga candaan-candaan yang biasa dilakukan orang Batak.
Karakter Uly sebagai perempuan cerdas pun cenderung pasif. Hanya sekali saja film ini menggali bagaimana pemikiran Uly terhadap konsep pariban. Pun dengan Binsar yang ngebet sama Uly bisa dijadikan sebagai simbol perlawanan terhadap tradisi pariban. Ia nggak begitu saja kalah dari Moan yang menjadikan pariban sebagai senjata utama ‘membunuh’ Binsar.
Jadinya saya merasa Andibachtiar Yusuf yang ditemani oleh Agustinus Sitorus dan Ridho Brado ini menuliskan naskah Pariban tak ubahnya seperti kebanyakan FTV Romcom yang mengusung perbedaan karakter budaya antar para tokohnya. Meski saya mengakui permainan para tokohnya begitu hidup dan menyenangkan.
Dan yang paling bikin saya bingung adalah bagaimana film ini menempatkan candaan dewasa tentang laki-laki. Entah saya harus senang atau sedih ketika Pariban justru lebih banyak mengunggulkan laki-laki dari pent#l dan k#nt#l-nya semata. Padahal ada banyak yang bisa dibanggakan dari karakterisasi tokohnya salah satunya adalah kemampuan Moan membuat aplikasi penjualan kerbau untuk tulang (baca:paman) nya.
Tapi yang membuat saya kecewa berat terhadap film ini adalah keputusannya untuk memotong film sebelum mencapai puncaknya. Kerasa ‘kan gimana cabut sebelum klimaks? NGGAK ENAK!