Mendapat penghargaan sebagai Film Panjang Bioskop Terbaik di ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016 juga merajai nomine Festival Film Indonesia (FFI) 2016, tentu membuat saya penasaran akan film ini. Film yang akhirnya meraih beberapa piala citra seperti Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dan Penata Sinematografi Terbaik tayang kembali di Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada Rabu, 23 September 2020 pukul 21.30 WIB.
Ya betul, film tersebut adalah Salawaku yang diproduksi oleh Kamala Film dan Remonity Foundation.
Salawaku mengambil genre road movie dengan latar Pulau Seram Bagian Barat. Banyak alam-alam indah yang tertangkap kamera Faozan Rizal dengan baik. Mulai dari pantai, laut, pasir, hingga sungai. Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah air terjun Lumoli. Menonton Salawaku menyadarkan saya bahwa banyak lokasi-lokasi di Indonesia yang cocok untuk dijadikan lokasi syuting, pula menambah rasa cinta saya terhadap alam negeri ini.
Mengangkat permasalahan perempuan
Salawaku sendiri adalah nama seorang tokoh anak dalam film tersebut. Diperankan dengan baik oleh Elko Kastanya, Salawaku berusaha mencari kakaknya, Binaiyya (Raihanuun) yang pergi dari kampungnya. Dalam perjalananannya Salawaku bertemu Saras(Karina Salim). Saras pun memiliki kisahnya sendiri. Dengan masing-masing kisah tersebut, perjalanan Salawaku dan Saras pun dimulai.
Berangkat dari premis pencarian Binaiyya, sesungguhnya film ini pun adalah film tentang mencari kepastian. Subjek yang diangkat dalam film ini adalah wanita. Dua wanita dalam film ini sama-sama mencari kepastian.
Saras menanti kepastian pacarnya untuk segera menikahinya. Kepastian ini selalu ia bawa dan simpan selama perjalanannya bersama Salawaku. Sementara Binaiyya yang pergi pun sedang berharap kepastian. Suatu kepastian akan permasalahan kelam yang akan menentukan hidup Binaiyya selanjutnya.
Kedua permasalahan yang dialami oleh Saras dan Binaiyya sama-sama masalah perempuan. Dengan latar yang bertolak belakang, yakni Saras yang mewakili wanita urban, sementara Bianiyya wanita sub urban, Salawaku seakan hendak memberi tahu bahwa permasalahan diskriminasi terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja. Terlebih Iqbal Fadly dan Titien Wattimena yang dipercaya menulis naskah, sangat berusaha membenturkan masalah yang dialami Binaiyya dengan aturan adat yang berlaku di mana Binaiyya tinggal.
Isu besar yang diangkat Salawaku terasa lebih sederhana dan mudah masuk ke penonton berkat pengarahan sutradara Pragita Arianegara yang pandai melakukan pembabakan. Ia juga mampu menjaga tempo dan alur penceritaan dengan baik. Di paruh awal penonton diajak bersenang-senang dengan alam Maluku sembari mengenalkan karakter, sejurus kemudian mengupas konflik.
Mengungkap perbedaan budaya antar daerah
Hal lain yang harus diapresiasi dari Salawaku adalah benturan perbedaan bahasa/istilah. Beberapa istilah seperti “gokil banget”, “gagal paham”, “balas budi” menambah gelaran rasa humor sepanjang durasi. Tapi fenomena yang biasa kita sebut dengan Culture Shock ini bukan sekadar sisipan humor, tapi sekaligus menyadarkan pula bahwa di saat teknologi berkembang, masih banyak daerah yang belum tersentuh teknologi. Di saat generasi urban milenial tidak asing dengan "post, like and comment", Salawaku untuk difoto saja harus berusaha keras menampilkan senyum terindahnya.
Cukup kuat dengan isu yang ditawarkan serta pendekatan road movie yang menyenangkan, Salawaku nggak sepenuhnya berjalan mulus. Selain pendekatan seperti ini akan berpotensi mengaburkan isu yang diangkat, karena distraksi keindahan alam (bak promo pariwisata), Salawaku juga luput dari detail-detail kecil.
Misalnya saja detail yang terjadi pada ponsel Saras. Dalam film tidak ditunjukkan adegan mengecas, tapi ponsel tersebut bisa bertahan selama seharian penuh. Ditambah lagi sebelumnya sudah sempat terendam air. Jika dibandingkan dengan film serupa seperti Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (2016) yang juga berlatar Indonesia Timur, masalah serupa diselesaikan dengan adegan membawa ponsel karakter utama untuk dicas di rumah ketua adat.
Meski minor, tapi hal ini cukup penting untuk memperkuat potret kehidupan sosial budaya yang menjadi latar sebuah film.
Kamu sudah nonton film ini?