"Siapa orang yang pertama kali mendarat di bulan?"
Entah SD atau SMP, saya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Saya pun sontak menjawab, 'Neil Amstrong'!. Karena memang itulah yang diajarkan guru saya di sekolah. Tapi apakah benar, ada manusia yang bisa mendarat di bulan? Hanya Siman dan Tuhan-lah yang tahu jawabannya.
Al-kisah, seorang warga bernama Siman, tak sengaja melihat syuting pendaratan bulan oleh kru asing. Penglihatannya ini diketahui oleh kru tersebut dan mereka pun menangkap Siman. Siman dipotong lidahnya agar tak bisa lagi berbicara apa pun yang ia lihat.
Kisah Siman ada dalam film terbaru Yosep Anggi Noen, The Science of Fictions (Hiruk Pikuk Si Al-Kisah) yang tayang di bioskop mulai 10 Desember 2020.
Hari-hari yang berat bagi Siman
Pasca kejadian dipotong lidahnya, Siman (Gunawan Maryanto) tetap berusaha memberikan informasi apa yang dilihatnya malam itu. Mulai ia berjalan sangat lambat layaknya astronot, hingga ia membangun rumah mirip roket.
Tapi sayangnya, maksud Siman tidak ditanggapi baik oleh warga. Ia bahkan cenderung dituduh gila/sakit. Siman tidak menyerah, hari demi hari, hingga tahun demi tahun berlalu, Siman tetap ingin menyampaikan kebenaran apa yang sudah dilihatnya.
Peristiwa pendaratan pertama di bulan terjadi pada tahun 1969. Satu peristiwa besar yang kebenarannya masih menjadi hiruk-pikuk. Sementara di Indonesia, saat itu sedang gencar-gencarnya isu PKI. Warga yang dituduh simpatisan PKI ditangkap (dan mungkin dibunuh).
Sampai saat ini pun, isu PKI ini masih menjadi hiruk-pikuk di kalangan masyarakat dan akan selalu ramai pada akhir September setiap tahunnya.
Dua hal ini lah yang menjadi dasar imajinasi Yosep Anggi Noen mengurai The Science of Fictions.
Rasanya memang kita perlu memahami terlebih dahulu konteks filmnya, agar bisa menarik kesimpulan apa yang sebetulnya ingin Anggi Noen bicarakan. Karena pada pratiknya, film ini termasuk yang sulit diikuti (setidaknya untuk saya), jika dibandingkan dengan karya Anggi Noen sebelumnya, Istirahatlah Kata-Kata yang juga diperankan oleh Gunawan Maryanto
Eksperimen sinematik yang langka dan menakjubkan
Dunia The Science of Fictions nampaknya berada pada dua periode yang terlampau jauh jaraknya. Selain hidup di tahun 60-an, The Science of Fictions membawa Siman pada dunia masa kini.
Separuh pertama, film bernuansa hitam putih dengan rasio layar yang sempit. Pemilihan bentuk sinema seperti ini sangat mendukung sekali suasana yang sedang dibangun. Saya bisa merasakan bagaimana mencekamnya kala PKI menjadi isu panas, tanpa perlu memperlihatkan banyak adegan darah.
Lalu separuh kemudian, kita diajak melihat Siman hidup di dunia masa kini. Layar pun lebih berwarna dengan rasio yang lebih lebar sebagaimana umumnya film bioskop zaman sekarang.
Sungguh suatu eksperimen sinematik yang langka, dan bukan untuk gimmick/KawanKawanMedia |
Diceritakan banyak perubahan yang terjadi pada diri Siman. Ia mulai berinteraksi dengan banyak orang, bekerja sebagaimana orang lain. Tapi satu hal yang nggak pernah berubah adalah misinya untuk mengungkapkan peristiwa yang membuat lidahnya terpotong itu.
Ada tantangan berat yang perlu dihadapi oleh Gunawan Maryanto dan Anggi Noen untuk misi ini. Nyaris tanpa dialog, mereka harus piawai menerjemahkan keliaran apa pun yang ada di kepala sang sutradara ke dalam bahasa visual. Dan Gunawan Maryanto yang baru saja memenangkan piala citra Pemeran Utama Pria Terbaik (lewat film ini), sangat layak mendapatkannya.
Gerak tubuh dan ekspresi Siman sebagai bentuk protes atas pembungkaman informasi sangat begitu terasa. Pun pengarahan Yosep Anggi Noen yang sangat cermat atas karakter Siman menambah daya tarik visual film ini.
Salah satunya tercermin dari karakter Siman yang tak selamanya berjalan slow motion layaknya seorang astronot di luar angkasa. Siman juga bisa berjalan dengan normal terutama di keadaan-keadaan yang emosional. Seperti marah saat uangnya dicuri oleh temannya, kecewa honornya ditunda oleh penyelenggara pesta nikahan, atau ketika hasrat seksualnya sedang memuncak.
Anggi Noen membuat karakter rekaannya ini dengan manusiawi. Ia menunjukkan bahwa Siman adalah manusia biasa, yang hidupnya tak melulu tentang membongkar kebenaran. Ia juga punya kehidupan yang harus ia jalani.
Bukankah kita juga terkadang ada lelahnya memperjuangkan sesuatu yang kita percayai, dan memilih untuk menjalani hidup normal dengan biasa-biasa saja?
Ketika kebohongan diproduksi, dan sejauh mana kita mengimaninya sebagai kebenaran?
Hal inilah yang mungkin disuarakan Yosep Anggi Noen dalam film-filmnya yang sunyi. Senada dengan Istrihatlah Kata-Kata, kesunyian yang diciptakan Anggi Noen justru mampu berkata-kata lebih banyak, dan lebih sampai kepada penontonnya.
Meskipun, pada akhirnya kebenaran itu hanya jadi tontonan semata dan tak pernah terungkap, nyatanya The Science of Fictions sudah memberikan sudut pandang lain bahwa kebenaran akan tetaplah kebenaran meski satu orang pun tidak memercayainya.
Kebenaran akan tetaplah kebenaran, meski tanah liat sudah berganti besi. Kebenaran akan tetaplah kebenaran meski jarum benang sudah berganti mesin jahit. Dan kebenaran akan tetaplah kebenaran meski kau hanyalah orang kecil.
Sekaligus juga mempertanyakan apakah yang kita imani sebagai kebenaran itu memang sebuah kebenaran?