“Mama bantu aku, kemana perginya matahari? Aku tak bisa melihatnya.” ucap seorang remaja 12 tahun ketika menyadari kebutaannya.
Barangkali itu adalah salah satu ungkapan yang puitis ketika seseorang hanya melihat kegelapan. Ungkapan itu menjadi lebih dramatis tatkala divisualkan dengan adegan dan tata musik yang menyentuh.
Film The Music of Silence membuat adegan itu menjadi nyata. Alkisah seorang bayi laki-laki lahir dan diberi nama Amos Bardi. Lima bulan setelahnya, kedua orangtuanya baru menyadari jika bayi yang sangat disayanginya tersebut menderita Congenital Glaucoma yang menyebabkan gangguan penglihatan. Ia nggak sepenuhnya buta, masih bisa melihat sesuatu di sekitarnya.
Namun, gangguan penglihatannya semakin parah tatkala matanya terkena tendangan bola saat bermain dengan teman-temannya. Hidupnya pun berubah seketika!
Bicara kecerdasan musikal
Umumnya orang akan mengasosiakan kecerdasan dengan keberhasilan nilai akademik di sekolah. Padahal menurut psikolog terkenal Harvard University, Prof Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences pada tahun 1983, mengurai delapan jenis kecerdasan.
Salah satunya adalah kecerdasan musikal, suatu kecerdasan yang berhubungan dengan musik dan mampu menerima musik/pola-pola nada sebagai bahasa kehidupan sehari-hari.
Ketika usianya tiga tahun, kedua orangtua Amos Bardi memutuskan untuk mengoperasi matanya Amos sesuai saran dokter yang ia temui ketika Amos Bardi berusia lima bulan. Di suatu adegan, Amos Bardi tak sabar ingin membuka perban yang membungkus matanya, tetapi dicegah oleh ibunya.
Sebagai upaya untuk menenangkan sang buah hati, ibunya memberikan sebuah boneka. Namun, boneka itu dilempar oleh Amos Bardi. Dan ia lebih memilih mendekatkan pendengarannya ke dinding kamar. Di saat itulah ia mendengarkan alunan musik dari kamar sebelah yang membuatnya lebih tenang.
Sang sutradara menunjukkan awal mula kecintaan Amos Bardi terhadap musik dengan adegan yang cukup surealis dan penuh filosopi.
Dihiasi Dialog-Dialog Filosopis
Film yang adaptasi dari novel karangan Andrea Bocelli (yang sesungguhnya Amos Bardi dalam film ini), kerap kali dihiasi dialog-dialog filosopis.
Suatu ketika Amos Bardi beranjak dewasa dan bertemu dengan sang Maestro yang mengasah kecerdasan musikalnya, ia diharuskan sang Maestro untuk disiplin. Sang Maestro berkata: “Diam adalah disiplin yang paling baik sekaligus sulit”. Cukup filosopis bukan?
Ajaran Sang Maestro itu tentu bukanlah satu-satunya dialog filosopis yang menghiasi film ini. Bahkan sejak awal film dimulai, penulis naskah sudah menunjukkannya. Semisal saat dokter mendiagnosa Amos Bardi mengalami gangguan penglihatan, sang ibu berkata “Ia bisa melihatku”.
Apa jawaban si dokter? Alih-alih memberikan pengetahuan medis, sang dokter menjawab dengan filosopis. “Bahkan dalam gelap, seorang anak bisa melihat ayahnya”, begitulah jawaban sang dokter.
Terdengar keren bukan? Secara dialog mungkin iya. Namun hal ini juga sekaligus menunjukkan sisi lemah penulisan naskah The Music of Silence. Tentu akibat jawaban si dokter yang filosopis, kita nggak pernah mendapat jawaban kenapa Amos Bardi harus dioperasi tiga tahun setelah konsultasi?
“Menyanyilah sampai kau tidak bisa mendengar suaramu”/makingacinephille.com |
Pembabakan yang masih bisa diperhalus lagi
Sebagai film biografi, atau yang mengisahkan kisah nyata seseorang, The Music of Silence mengambil format pembabakan periodisasi. Sebuah teknik bercerita yang mengambil peristiwa-peristiwa penting sang tokoh lalu dirajut sebagai satu kesatuan cerita yang ditandai dengan garis waktu.
The Music of Silence dimulai dari masa kelahiran Amos Bardi, dilanjut dengan masa kecilnya yang dihabiskan di sekolah tuna netra, lalu ketika dewasa ia sekolah di sekolah umum, berlatih dengan sang maestro, menikah, dan sampai di puncak kejayaannya.
Penanda garis waktu dalam film ini, menurut hemat saya terlalu banyak. Periodik waktu yang loncat-loncat dan kurang konsisten penggunaannya (kadang dengan keterangan “dua tahun kemudian”, kadang pula dengan tanggal pastinya) membuat pengalaman menonton saya sedikit terdistraksi.
Kenapa demikian? Ketika saya sedang menikmati suatu masa, lalu tiba-tiba
muncul penanda waktu, maka otak penonton sudah selesai di babak itu, dan
harus mencerna babak baru, lalu mencari runutannya di kemudian.
Garis waktu (kecuali untuk tanggal peristiwa penting), sebetulnya bisa diakali dengan visualisasi yang mumpuni. Dan sesungguhnya The Music of Silence sudah melakukan visualisasi tersebut dengan baik. Salah satunya ketika masa pubertas Amos Bardi yang ditandai dengan perubahan suaranya.
Jadi, tanpa penanda adegan tersebut kapan berlangsung, penonton sudah bisa memahami timeline yang diberikan.
Kekurangluwesan teknik periodisasi ini membuat saya kurang simpati terhadap kerja keras Amos Bardi berlatih dengan sang Maestro. Padahal ini adalah salah satu kunci kenapa saya harus percaya jika Amos Bardi sehebat yang digambarkan di akhir ceritanya.
Contohnya adalah penggunaan term “6 bulan kemudian” saat Amos Bardi berlatih dengan sang Maestro, bisa diganti dengan kolase adegan latihan Amos Bardi yang menunjukkan perkembangannya.
Ini akan membuat penonton lebih percaya bahwa keberhasilan Amos Bardi memang dicapai dengan kerja keras dan dalam jangka waktu yang lama, tanpa harus menyebutkan waktu secara tersurat.
Namun, tenang saja. Teknik periodisasi hampir menjadi masalah utama film-film biografi khususnya yang diangkat dari novel, karena bisa saja novel begitu jelas merincinya, sementara film hanya punya waktu dua jam saja.
Ditemani ayahnya, Amos Bardi menunggu penyanyi terkenal yang menjanjikan konser bersamanya/Mola TV |
Mempertanyakan keberadaan Tuhan?
Salah satu yang menarik dari film ini, adalah ketika Amos Bardi mempertanyakan eksistensi Tuhan. Dari dialog ia dan ibunya, bisa disimpulkan jika keluarga Amos Bardi adalah penganut agama yang taat.
Seringkali ketika kita ditimpa sesuatu yang buruk, kita merasa bahwa Tuhan itu tidak ada untuk kita. Amos Bardi pun demikian. Secara tersirat ia ingin mengatakan kenapa saya harus buta tidak seperti orang lainnya, dan engkau (Tuhan) malah diam saja.
Sepintas unsur spiritual hanya digambarkan saat adegan itu saja. Tapi kalau kita menelaah lebih lanjut lagi, The Music of Silence sesungguhnya betul-betul menggambarkan perjalanan spiritual yang menjadikannya ia sehebat itu.
Beberapa bukti penguat secara tersurat adalah saat ia menolak tawaran minum anggur dari sang Maestro.
Dan tentunya simak-simak baik rangkaian adegan separuh akhir film ini yang menunjukkan bagaimana The Music of Silence memang percaya bahwa kekuatan Tuhan adalah segala-segalanya dengan metafora pada ciptaan-Nya.
Artikel ini juga ditayangkan di
Kompasiana