“Untuk apa bikin pertunjukan jika tidak ada yang nonton”
Itulah kata-kata dari seorang aktor senior yang masih terngiang selepas pertemuan saya dengannya hingga saya mengetik tulisan ini. Banyak sekali kisah-kisah dan cerita yang memberikan banyak inspirasi dan membuat saya tertegun.
Melaju kencang dari markas besar Forum Film Bandung di Jalan Zamrud (Buah Batu) sehabis Jumatan, saya pun bergerak cepat menuju sebuah cafe di Jalan Pahlawan, Suci. Dari sanalah cerita ini akan bermula.
Beberapa kali melihatnya di layar lebar dalam film-film seperti Emak Ingin Naik Haji, Ketika Cinta Bertasbih hingga Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar, membuat saya setengah tidak percaya jika saat itu saya akan menghabiskan waktu sekitar satu dua jam bersamanya.
Sosok itu makin nyata tatkala saya berjalan menuju ke belakang cafe. Ya, dia sudah ada disana.
Mari berkenalan dengan aktor senior, Niniek L. Karim.
Awal karir
Niniek L. Karim saat menerima penghargaan Lifetime Achiement dari Festival Film Bandung 2016 |
Dalam perbincangan hangat antara saya dengan Niniek L. Karim yang turut juga dibersamai oleh anggota Forum Film Bandung lainnya (Agus Safari, Rosyid E. Abby, Moch. Rahmat Barokah, dan Iwan Kusmawan), Niniek berbagi tentang awal mula dirinya terjun di dunia keaktoran.
Film pertamanya adalah Ibunda karya sutradara Teguh Karya. Meski terbilang baru dalam dunia film layar lebar, Niniek langsung diganjar piala citra untuk Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1986.
“Yang hebat itu Tuti Indra Malaon, bukan saya”, ucapnya dengan penuh rasa rendah hati.
Yach, Tuti Indra Malaon adalah pemeran utama dalam film Ibunda. Kata-katanya menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat menghargai orang lain.
Karir di perfilmannya berlanjut pula pada tahun 1989 lewat film Pacar Ketinggalan Kereta. Masih karya sutradara Teguh Karya dan masih pula diduetkan dengan aktor hebat Tuti Indra Malaon.
“Bertemu dengan Teguh Karya, berkah buat saya”, ucap Niniek dengan penuh rasa syukur.
Atas penampilannya dalam film ini, dirinya kembali diganjar piala citra kedua untuk kategori yang sama yakni Pemeran Pendukung Wanita Terbaik FFI 1989.
Semangat berbagi dari dirinya membuat saya lebih banyak tahu tentang kondisi perfilman saat itu, saat dimana saya belum lahir ke dunia ini. Hehehe, maklum saya lahir setahun setelah Niniek meraih piala citranya yang kedua.
Nah, berbicara kondisi film saat itu, perbincangan Niniek hampir tidak lepas dari sosok Teguh Karya, bahkan ia punya kenangan tersendiri bersama sutradara senior tersebut.
Film dan penonton
Niniek L. Karim (kiri) berperan sebagai nenek yang kembali ke masa muda dalam film Sweet 20/Starvision |
Sosok dirinya yang berlatar belakang psikologi dan juga mencintai karya seni, membuat pola pikir Niniek sangat dinamis dan bijaksana.
“Pokoknya kalau buat pertunjukan harus serius ya, sungguh-sungguh, dosa lho, kalau penonton yang melihat pertunjukan kita mereka tidak bahagia. Mereka sudah korban waktu, uang juga tenaga, pokoknya dosa kalau tidak bikin mereka bahagia”, ucapnya menirukan sutradara di salah satu pertunjukan yang dilakoninya.
Dosa, dosa dan dosa! Itulah yang selalu Niniek ingat. Ia menjadikan penonton sebagai raja dalam sebuah pertunjukan yang harus dipuaskan. Tanpa penonton apalah arti sebuah karya seni.
Bahkan lebih jauh Niniek berpendapat bahwa keberadaan penonton sangat penting sebagai pemacu semangat untuk berkarya lebih baik.
“Saya berharap juga media memberitakan hal-hal yang positif dan jangan takut untuk memberikan kritik terhadap suatu film, tapi ya jangan juga bilang film ini jelek tho, harus tetap berimbang”, ucapnya berbagi pandangannya mengenai kritik film.
Ya, penonton bisa bermacam-macam. Mereka yang menikmati karya berhak berpendapat. Menurut aktor kelahiran Januari 1949 ini, kritikus atau reviewer jangan pernah takut untuk menulis apa yang dirasakannya tentang suatu karya seni dengan penuh kejujuran.
Dari sini, saya makin kagum dengan seorang Niniek L. Karim karena memberikan “penonton” ruang tersendiri di hatinya.
Semakin lama obrolan semakin menarik. Ada satu pertanyaan bagus yang dilontarkan oleh Rosyid E. Abby (salah satu pengamat FFB) kepada Niniek.
“Barangkali ada nilai-nilai idealisme ibu yang ditanamkan di film, pertimbangannya dengan teater, itu bagaimana Bu?”, tanya Rosyid yang sedikit mengagetkannya karena seperti sedang diinvestigasi.
Untungnya suasana segera mencair kembali sesaat Agus Safari menjelaskan mengenai anggota Forum Film Bandung yang beragam profesi, salah satunya Rosyid ini yang berprofesi sebagai wartawan dan juga pegiat teater.
“Idealisme saya dalam melihat film Indonesia. Anda lihat film Tiga Dara nggak kemarin yang direstorasi? Nah, anakku umurnya 35 tahun. Dia memang Master of Music, ya jadi S2 nya musik juga di Belanda. Nonton yang belum direstorasi yang masih grekgek-grekgek. Mah, luar biasa sekali ya, musiknya bagus-bagus Mah (menirukan ucapan anaknya). Dia master music nya di Belanda itu aliran jazz, bayangin ini kebanyakan lagu pop, tapi ia bisa menghargai Tiga Dara. Dia nontonnya di ruangan yang nggak pakai AC. Jadi menurut saya, nenek moyang kita di film itu orang-orang hebat, bisa bikin film hebat. Itu artinya apa? Bakat itu, energi itu, spirit itu ada di anak cucunya yang sekarang ini”, jawab Niniek seraya kembali meneruskan makan siangnya.
Niniek yang juga pembina Sinematografi di salah satu kampus terbesar di Indonesia ini, berpendapat bahwa film Indonesia saat ini bagus-bagus. Ia pun merasa bertanggungjawab untuk tetap menjaga semangat positif anak-anak muda untuk tetap berkarya. Di usianya yang tidak muda lagi, beliau tetap optimis akan kelanjutan film Indonesia ke depannya.
“Bahkan sekarang dengan kemudahan IT yang luar biasa, mereka dengan gampangnya bikin film, tapi tetap saja mereka harus melihat masa lalu yang berhasil, kenapa mereka berhasil”, tambah Niniek melengkapi pernyataan sebelumnya.
Niniek sangat mengapresiasi anak-anak muda masa kini yang berkarya di tengah berkembangnya teknologi informasi, tapi ia juga berpesan kepada mereka untuk tetap belajar pada masa lalu dan tetap menjaga akar budaya nasional sebagai ruh film.
Menjaga akar budaya
Menurut Niniek, era globalisasi tidak bisa dicegah. Dia pun membebaskan anak-anak muda untuk belajar ilmu film dari mana saja. Niniek percaya pada teori Carl Gustav Jung yang menyatakan bahwa selalu ada memory trace dari nenek moyang di ingatan kita.
“Nenek moyangku tuh ada yang pembatik, bayangkan. Keponakan saya sekolahnya di Prancis. Pulang ke Indonesia. Tahu-tahunya kemarin dia WA (WhastApp-red) saya. Dia bilang sama saya, Niniek ini kainnya eyang yang sudah sobek-sobek masih saya pakai sampai sekarang, dan ini saya lagi bikin batik, sebagai persembahan saya. Nah, dia tinggal di Bali sekarang, sekolahnya di Prancis, jadi tidak usah khawatir”.
Niniek L. Karim tidak pernah khawatir bahwa film Indonesia akan kehilangan lokalitasnya selama kita tetap mengajarkan tentang kehebatan nenek moyang kita. Dia pun menambahkannya dengan teori William Schutz dalam Fundamental Interpersonal Relations Orientations (FIRO).
Dalam teori tersebut anak - anak muda harus ditunjang oleh tiga hal yakni afeksi, inklusi dan kontrol.
Sederhananya, ada kesempatan yang sebesar-besarnya agar anak-anak muda dapat terlibat secara nyata namun tetap berada dalam kontrol yang benar. Jika hal ini dilakukan, maka anak-anak muda akan tetap berkarya dengan memanfaatkan teknologi informasi namun masih berpijak pada kearifan lokal.
Hal ini sekaligus menjawab keraguan Agus Safari yang khawatir dengan seiring berkembangnya teknologi, film Indonesia yang dihasilkan akan menghilangkan nilai-nilai lokal.
Selain menjaga semangat anak-anak muda tetap berkarya, Niniek pun berpendapat perlu adanya pihak terkait yang juga turut menjaga budaya lokal, salah satunya penyelenggaraan festival.
Saat ini ada dua festival besar yang diselenggarakan dan didanai oleh pemerintah yakni Festival Film Indonesia (FFI) di bawah Badan Ekonomi Kreatif (sebelumnya di Kementerian Pariwisata RI) dan Apresiasi Film Indonesia (AFI) di bawah Kementerian Pendidikan.
Dalam hal ini, Niniek berpendapat perlu adanya pembeda antara FFI dan AFI. Niniek pun mengemukakan bahwa sebaiknya AFI inilah penghargaan yang perlu mengangkat budaya lokal dan bisa menjaga sejarah perfilman tetap berakar pada budaya lokal.
Bincang santai bersama Niniek L. Karim semakin seru dan tak terasa sudah menghabiskan waktu dua jam. Di akhir-akhir perbincangan, Niniek pun menyatakan kekagumannya pada Festival Film Bandung atas konsistensinya dalam mengapresiasi karya film Indonesia.
“Everybody is a Naive Psycologist. Setiap orang kan pada dasarnya akan seperti psikolog. Ia akan menilai orang yang diamatinya. Inilah yang saya kira menarik dari Forum Film Bandung. Pengamatnya dari berbagai profesi yang membuat penilaian tetap menjadi independen dan bertanggungjawab”.
Niniek pun merasa bangga pernah menjadi bagian dari sejarah panjang Festival Film Bandung. Ia pernah memenangkan penghargaan sebagai Pemeran Pembantu Wanita Terpuji FFB 2006 kategori Serial TV dalam Jasmine. Niniek pun berharap Festival Film Bandung harus tetap ada dengan regenerasi dari anak-anak muda.
Setiap pertemuan ada perpisahan. Malam harinya, Niniek harus menghadiri gala premiere salah satu film nasional. Oleh karena itu, sekitar waktu ashar, kami pun mengakhiri perbincangan santai ini.
Jumat, 2 September 2016, menjadi salah satu kepingan perjalanan hidup saya yang takkan terlupakan. Mendapat inspirasi dan ilmu baru dari seorang Niniek L. Karim.
Artikel ini telah dipublikasikan di Majalah Khusus Festival Film Bandung 2016