Film Indonesia yang memuat kearifan lokal masih jarang disentuh sineas kita. Padahal negeri kita begitu kaya akan adat istiadat, budaya, dan keanekaragaman lainnya yang membentang dari Sabang hingga Merauke.
Salah satu yang mulai menggeliat di beberapa tahun terakhir adalah budaya Makassar. Sukses komersial Uang Panai‘ (2016) banyak diperbincangkan kalangan pegiat film. Dan setelahnya memunculkan beberapa film Makassar lainnya meski tidak seberuntung Uang Panai’ dalam hal jumlah penonton.
Terbaru, ada film Tarung Sarung produksi Starvision yang tayang di Netflix pada akhir tahun 2020. Film ini semula direncanakan tayang di bioskop pada bulan April. Namun karena pandemi film ini tertunda penayangannya, dan akhirnya menjadi film pertama Starvision yang dieskpor ke layanan streaming.
Sekilas tentang Sigajang Laleng Lipa
saya takut pak/Starvision |
Membahas Tarung Sarung nggak bisa dilepaskan dari tradisi suku Bugis, Sigajang Laleng Lipa. Tradisi ini adalah upaya menyelesaikan masalah dua pihak yang bertikai. Kedua pihak masuk (berada) dalam satu sarung dan masing-masing menggunakan badik. Tentu tradisi semacam ini berpotensi menghilangkan nyawa.
Namun tradisi ini sudah cukup lama ditinggalkan oleh masyarakat Bugis. Sebagai upaya untuk melestarikan tradisi ini, Sigajang Laleng Lipa dibuat sebagai seni pertunjukan tentunya tanpa menggunakan badik.
Dari sinilah cerita Tarung Sarung berangkat. Dalam film diceritakan, tarung sarung adalah olahraga pertandingan atau kejuaraan nasional. Kejuaraan tarung sarung menggunakan konsep satu lawan satu alias tidak keroyokan.
Pola dan irama penceritaan yang umum
Setelah memperkenalkan kejuaraan tarung sarung, kita akan diajak berkenalan dengan Deni Ruso (Panji Zoni). Ia adalah anak pemilik perusahaan Ruso Corp yang sangat terkenal di Jakarta. Tentu dengan uang dan kekayaannya, ia bisa melakukan apa saja termasuk melukai orang yang mendekati pacarnya dengan cara keroyokan.
Peristiwa ini diketahui oleh ibunya (Imelda Therrine). Kemudian ibunya memutuskan untuk mengirim Deni Ruso ke kampung halamannya, Makassar. Tujuannya agar ia belajar sesuatu sekaligus mengurus proyek Ruso Park yang sedang berjalan di Makassar.
Makassar menjadi titik awal Tarung Sarung tampil sangat memikat.
Ada beberapa tokoh penting yang menemani perjalanan Deni di Makassar. Tokoh pertama adalah Tenri (Maizura), gadis yang ia temui di pinggiran pantai ketika sedang survei lokasi proyek. Tokoh kedua adalah Sanrego (Cemal Faruk), juara bertahan tiga tahun berturut-turut kejuaraan tarung sarung nasional. Dan sanrego hendak menikahi Tenri.
Sebagai sebuah film laga kompetisi, Tarung Sarung mengikuti pola dan irama film impor bertema serupa. Beberapa pengulas menyebutnya sebagai Karate Kid-nya Indonesia. Bukan tanpa alasan memang karena Karate Kid mendapat tempat tersendiri di Tarung Sarung. Jadi apabila film ini terinspirasi dari sana, sudah hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Tapi saya melihat Tarung Sarung lebih banyak kesamaannya dengan Baaghi (2016), film bollywood yang juga berkisah tentang seni bela diri. Tidak hanya terbatas di kisah umumnya, motivasi sang tokoh utama mengikuti kejuaraan dan berani melawan sang jawara pun sama persis.
Beberapa irama lain yang diikuti adalah pola latihannya. Deni yang tidak bisa bela diri menjalani latihan bersama gurunya (Yayan Ruhiyan). Namun ia merasa kalau gurunya sama sekali tidak melatih dirinya untuk bisa mengikuti kompetisi tarung sarung. Baru setelah protes, kemudian ia sadar kalau selama ini apa yang diminta gurunya adalah latihan yang sesungguhnya dan bermanfaat.
Beberapa jenis latihan yang digunakan pun umum ditemukan di film-film serupa semisal memikul air untuk melatih keseimbangan. Tapi untungnya, ada beberapa jenis latihan yang juga lebih bisa dinikmati secara ekslusif (dekat dengan keseharian masyarakat) seperti menangkap nyamuk dan membereskan sandal di depan masjid menggunakan kaki.
Tapi perlu dicatat, meski generik tidak serta merta Tarung Sarung ini seperti meniru. Archie Hekagery selaku sutradara dan juga penulis naskah sangat paham bagaimana membuat kedalaman film ini tetap kental lokalitasnya tanpa terasa tempelan semata.
Seperti halnya menghadirkan adegan pindahan rumah yang tujuannya bukan hanya memberi informasi bagaimana uniknya pindah rumah di sana, tapi juga sebagai bagian perjalanan karakter utama Deni Ruso menemukan dirinya.
Atau mungkin perkelahian epik di dalam angkot sambil diiringi dua lagu dangdut populer. Sungguh hanya di Indonesia kita bisa menemukan perpaduan angkot+dangdut.
Perjalanan menemukan Tuhan (kembali)
Serangkaian pola-pola yang generik bisa saja membuat Tarung Sarung nggak berbekas. Tapi Tarung Sarung punya kejutan lain sekaligus menjadi keunikan tersendiri dibanding film-film laga martial arts lainnya.
Ya, tentang bagaimana Tarung Sarung menjelaskan konsep berketuhanan.
Karakter Deni Ruso bukan cuma dituntut untuk berkelahi secara fisik, tetapi juga punya konflik batin yang serius yakni tidak percaya (lagi) kepada Tuhan.
Bagi saya sendiri, keimanan adalah hal yang sangat mendasar. Tarung Sarung cukup berani menyertakan isu ini membersamai perjalanan sang tokoh utama dari awal sampai akhir.
Beberapa perumpamaan digunakan sebagai refleksi berketuhanan. Ada yang cenderung verbal (blak-blakan) seperti menggunakan pancasila sila pertama untuk meyakinkan bahwa orang Indonesia itu wajib percaya Tuhan. Ada juga yang lebih cenderung kepada perenungan seperti menggunakan analogi permen untuk menjawab alasan kenapa perempuan berhijab.
Perumpamaan-perumpamaan tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Kita dengan mudah menemukan perumpamaan tersebut di forum-forum atau di media sosial. Tarung Sarung nampaknya harus berusaha lebih keras untuk mencari analogi lain yang sekiranya betul-betul bisa membuat sang tokoh utama mengalami pergolakan diri dengan yakin. Lebih jauhnya mungkin bisa membuat penonton juga ikut merenungkan.
Yang membuat refleksi ketuhanan ini tambah artifisial, adalah alasan Deni Ruso tidak percaya lagi terhadap Tuhan.
Dalam sejarah kenabian, sebagian besar orang tidak percaya (atau tidak mengakui) adanya Tuhan karena mereka merasa dirinya hebat dan meyakini apapun yang mereka peroleh adalah hasil kerja keras dirinya sendiri tanpa campur tangan Tuhan.
Artinya, alasan terbesar muncul dari dalam diri bukan dari luar. Sementara alasan Deni Ruso tidak percaya Tuhan justru karena melihat sesuatu di luar. Sebetulnya, film sudah memulai menggambarkan karakter Deni Ruso dengan cukup baik. Yakni ketika ia memberikan setumpuk uang di atas sajadah pada om Badul (Surya Saputra) seraya berkata ‘ini uang dari gue bukan dari Tuhan ya’.
Kesombongan dari dalam diri ini sudah cukup sebagai backstory bagi karakter Deni. Percakapannya bersama gurunya tentang terorisme, justru malah melemahkan alasan Deni. Apalagi perbincangan tersebut hanya hinggap sepintas lalu.
Tapi, konsep klimaks Tarung Sarung tentang ketuhanan perlu dipuji
Karakter Deni Ruso yang complicated dari luar dan dalam, tidak sepenuhnya bisa dipikul sempurna oleh pendatang baru Panji Zoni/Starvision |
Dari semua konsep ketuhanan yang dijabarkan dalam Tarung Sarung, yang perlu mendapat apresiasi lebih adalah konsep klimaksnya:IKHLAS!
Di kehidupan masyarakat kita, arti ikhlas cenderung menjadi sederhana semacam rela atau bahasa gaulnya ‘ya sudahlah’. Tapi apakah ikhlas sesederhana itu?
Ikhlas merujuk pada keesaan Tuhan. Itulah kenapa surat al-Ikhlas dalam Al-Quran justru berbicara tentang perkara tauhid. Perkara-perkara tentang keimanan dan kepercayaan terhadap keesaan Tuhan yang tidak bisa diukur oleh logika manusia.
Tarung Sarung mengembalikan makna ikhlas pada hakikatnya. Pertarungan akhir antara Deni Ruso dan Sanrego bukan lagi sebatas perebutan juara, makna harga diri, atau pun persoalan cinta kepada manusia, tapi sebuah perayaan terhadap keagungan Tuhan.
Sungguh hal ini adalah sebuah kejutan besar nan langka yang saya dapat dari film Indonesia. Impresi yang mungkin jarang saya dapat dari film yang mengaku religi sekalipun.