“Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Kalimat di atas adalah sepenggal dari pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai bentuk empati Indonesia terhadap kondisi penjajahan dunia. Penjajahan terutama penjajahan fisik, adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang harusnya nggak ada di bumi tercinta ini.
Tapi, seakan sudah hukum alam, bahwa akan selalu ada dua hal berpasang-pasangan di dunia ini. Langit dan bumi, siang dan malam, kebaikan dan kejahatan.
Dan fenomena itu bisa kita lihat di sebuah negeri yang berjaya namun mereka takut akan pemberontakan dari kelompok yang mereka sebut orang Barbar (Barbarians) dalam film terbaru Mola TV, Waiting for The Barbarians.
Latar yang memanjakan mata
Sebelum bicara lebih jauh tentang film yang diproduksi oleh Iervolino Entertainment ini, perlu saya puji latar film ini yang sangat memanjakan mata. Secara garis besar ada dua latar yang dipakai yakni wilayah perbatasan yang dipenuhi dengan benteng-benteng pertahanan dan gurun pasir. Mengambil lokasi syuting di Maroko, sinematografer mampu membidik sudut-sudut tempat dengan cantik dan sesuai dengan konteks adegan.
Dari sisi pencahayaan pun, sinematografer cenderung menyukai tone gelap, yang bisa diartikan sebagai simbol kegelapan dari penjajahan itu sendiri. Kecerdikan penataan kamera Waiting for The Barbarians dilakukan oleh sinematografer peraih nomine piala Oscar, Chris Menges. Ya, wajar sekali jika film arahan Ciro Guerra ini punya banyak gambar yang menawan.
Alur yang bergerak lambat
Gambar yang cantik menjadi salah satu pendukung utama agar penonton tidak bosan menyaksikan Waiting for The Barbarians. Terlebih jika menilik alur dan penceritaan yang digunakan film ini cenderung berjalan dengan lambat.
Waiting for the Barbarians bercerita tentang seorang pejabat pemerintahan (diperankan oleh Mark Rylance) yang bekerja di wilayah perbatasan sebuah pemerintahan kolonial. Dalam menjalankan tugasnya, pejabat pemerintahan yang biasa dipanggil Hakim itu berusaha menjadi pejabat yang adil dengan tidak menyakiti siapa pun.
Namun, keadaan mulai berubah saat Kolonel Joll (Johny Depp) datang ke wilayah tersebut dengan tujuan inspeksi. Ia membawa misi dari pemerintah pusat untuk melaporkan kondisi di tiap wilayah perbatasan yang ia kunjungi. Mengingat wilayah perbatasan adalah gerbang utama pertahanan, dan harus bersih dari segala pemberontakan.
Kolonel Joll percaya bahwa orang Barbar melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Maka dalam inspeksinya, Kolonel Joll melakukan berbagai penyiksaan kepada orang Barbar.
Konflik semakin menjadi saat sang Hakim mengantarkan salah satu wanita orang Barbar kembali kepada kelompoknya.
Untuk sampai ke konflik tersebut, Waiting for The Barbarians butuh waktu sekitar 1 jam atau setengah dari total durasi film.
Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama ini menghabiskan paruh pertama hanya untuk melihat-lihat kondisi perbatasan. Nyaris tak ada cerita yang bergerak maju yang membuat saya agak lelah untuk mengikuti ceritanya.
Selain itu, Waiting for The Barbarians juga agak berbeda dengan film penjajahan pada umumnya. Orang Barbar yang mereka anggap melakukan pemberontakan, bisa jadi hanyalah dugaan dan propaganda mereka sendiri. Karena memang orang Barbar ini nyaris nggak pernah diperlihatkan atau dibahas secara tersurat. Kecuali bagian akhir film ini yang mungkin bisa ditafsirkan bahwa pemberontakan orang Barbar itu memang ada. Mungkin?
Relasi kekuasaan, penindasan, dan kesadaran moral
Keberadaan dan pemberontakan orang Barbar yang masih misteri, sesungguhnya membawa kita pada relasi kekuasaaan, bahwa yang berkuasa bisa menindas yang lebih lemah di bawahnya. Sekalipun mereka yang berkuasa mempermainkan orang Barbar sebagai alat politik untuk melakukan penindasan, rakyat yang ditindas nggak akan melawan.
Bahkan, di salah satu adegan ketika Kolonel Joll menyiksa orang Barbar, ada seorang anak kecil yang diikutsertakan dalam penyiksaan. Anak kecil tersebut diminta memukuli mereka yang sebetulnya senasib sepenanggungan dengan mereka. Dan kemudian rakyat yang menonton pun bersorak sorai. Entah mereka bahagia karena bisa menyiksa orang Barbar yang berarti mendukung pemerintahan, atau karena mereka sendiri takut hal itu terjadi pada mereka.
Dalam situasi sulit seperti itu, nggak ada pilihan selain mengikuti apa yang dimau oleh penguasa.
Namun yang perlu digarisbawahi bahwa nggak selamanya kekuasaan berarti penindasan. Sebagai manusia yang diberikan Tuhan akal dan pikiran, ada aspek lain yang memengaruhi sifat manusia yakni kesadaran moral.
Mereka yang berkuasa, namun sadar akan moral, akan sulit melakukan penindasan. Tokoh Hakim dalam Waiting for The Barbarians inilah bisa menjadi contohnya. Meski ia punya jabatan di wilayah perbatasan, dan ia memilik rakyat yang lebih lemah dari darinya, tapi ia tetap memperlakukan mereka dengan baik.
Saat Kolonel Joll menyiksa orang Barbar pun, sang Hakim lebih banyak membela orang Barbar. Padahal ia sendiri merupakan bagian dari pemerintahan. Di sinilah pentingnya kesadaran moral kita sebagai manusia yang bisa berpikir dengan jernih dan tenang dalam melakukan dan memutuskan sesuatu.
Bicara juga tentang definisi sejarah yang menarik untuk diulik
Saya termasuk yang senang dengan sejarah, meski saya tidak mempercayai sepenuhnya apa yang terjadi. Senada dengan ungkapan “sejarah ditulis oleh para pemenang”, yang disebut-sebut dilontarkan pertama kali oleh Winston Churchill.
Dalam konflik utama Waiting for The Barbarians yang menyeret sang Hakim pada peradilan, Kolonel Joll menuduh perbuatan baik sang Hakim agar ia tercatat dalam sejarah.
“Kau ingin memasukkan namamu ke dalam sejarah. Ini perbatasan, bukan di mana-mana. Tak ada sejarah di sini. Orang-orang tidak tertarik dengan sejarah antah berantah. Baiklah kami akan mengakhiri semuanya. Dan menjatuhkan musuh. Itulah akhirnya”.
Dari pernyataan tersebut, bahwa sejarah itu berarti versi tergantung siapa penulisnya. Isinya mungkin saja benar, tapi hal tersebut hanyalah persoalan sudut pandang.
Pada akhirnya Waiting for The Barbarians mengajak kita untuk memahami apa musuh dari sebuah penjajahan. Apakah pemberontakan dari kelompok yang mereka sebut orang Barbar atau justru ego penguasa itu sendiri?
Dan respon sang Hakim atas pernyataan sejarah yang disebut Kolonel Joll, seakan menegaskan makna musuh tersebut.
Nonton Waiting for The Barbarians hanya di Mola TV
Saya menonton film yang juga didukung oleh aktor Robert Pattinson ini di Mola TV. Ini bukan kali pertama saya streaming nonton film di Mola TV. Sebelumnya saya pernah nonton The Music of Silence.
Yang membuat beda Mola TV dari layanan streaming lainnya adalah banyaknya film yang cuma tayang di sini. Termasuk Waiting for The Barbarians yang tayang serentak di seluruh dunia mulai 7 Agustus 2020, dan eksklusif hanya di Mola TV.
Biaya berlangganan untuk menyaksikan bioskop exclusive Mola TV pun cukup terjangkau. Cukup mengeluarkan uang sebesar minimal Rp. 12.500,-, saya sudah bisa menyaksikan berbagai pilihan film dari seluruh dunia.
Sebagai pecinta film, tentu kehadiran Mola TV sangat bagus untuk menambah referensi saya akan tontonan. Terlebih di masa pandemi seperti ini, bioskop belum diizinkan untuk buka, maka streaming Mola TV sangat bisa menjadi pilihan.
Selain di aplikasi, tersedia juga Mola TV versi dekstop |
Oia, setelah Waiting for The Barbarians, Mola TV juga akan menghadirkan berbagai film lain yang juga dimainkan oleh aktor terkenal. Di antaranya adalah film Iron Mask yang diperankan oleh Jacky Chan & Arnold Schwarzenegger yang akan hadir di bulan September. Sementara di bulan Oktober, Mola TV akan menyuguhkan aksi Mel Gibson dan Sean Penn dalam film Professor and The Mad Man.