"Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sungguh berat aku rasa kehilangan dia. Sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia" - Kehilangan (Rhoma Irama)
Setiap kali kita memiliki sesuatu, maka risiko kehilangan sudah terpampang nyata di depan mata. Dan ketika kehilangan terjadi, ia akan selalu menyisakan luka. Ya, kehilangan apapun.
Entah itu barang kecil seperti pulpen yang dipinjam teman tanpa ngomong, duit yang jatuh ketika ketika merogoh saku, hingga kehilangan pasangan hidup. Semuanya akan berakhir dengan perasaan duka.
Pertanyaannya, sampai kapan duka itu akan bersemayam dalam diri?
Kehilangan akan selalu menyisakan luka
Otto Anderson (Tom Hanks) atau biasa dipanggil Otto adalah seorang pria paruh baya yang tinggal sendiri di rumah impiannya. Ia mengalami kesendirian dan terus menerus berusaha bunuh diri pascameninggalnya sang istri.
Pertama kali penonton diperkenalkan dengan Otto yang seringkali marah terhadap orang lain. Padahal sejatinya ia hanyalah seorang pria tua yang taat aturan.
Misalnya ketika ada mobil yang parkir di area yang jelas-jelas tertanda 'dilarang parkir', Otto langsung mengusir mobil tersebut. Sikapnya yang demikianlah yang dianggap tidak ramah dan seakan tidak punya toleransi oleh tetangganya.
Tapi penggambaran karakter Otto tersebut punya sisi yang menarik. Penonton tidak akan terjebak pada membenci Otto karena penulis naskah David Magee (Finding Neverland, Life of Pi) menuliskannya selayaknya manusia yang punya sisi baik dan sisi buruk.
Apapun sikap yang dihadirkan Otto punya motivasi yang membuat saya justru empati kepadanya. Alih-alih sebal, yang ada malah kita yang jadi lebih peduli terhadap orang-orang yang memiliki karakter seperti Otto.
Sesuai judulnya, A Man Called Otto lebih banyak menyelami kehidupan Otto sembari memberikan gambaran kehidupannya selagi muda. Apa-apa yang terjadi pada Otto di waktu muda, menjadi faktor pembentuk diri Otto di masa kini.
Mulai dari Otto yang nggak lolos tes militer karena punya penyakit turunan hingga pertemuannya dengan Sonya (Rachel Keller), yang menjadi separuh hidupnya.
Saya suka bagaimana cara film ini bertutur. Kisah muda Otto dilukiskan sebagai flashback. Walau tidak dalam ritme yang konstan, editor Matt Chess paham betul kapan memunculkan kisah muda Otto sehingga memancing empati penonton.
Marisol, si pencuri perhatian
Ketika menonton film-film yang bicara tentang luka, duka, dan trauma dan digambarkan dengan suram, biasanya sehabis nonton saya malah jadi ikut-ikutan stres. Terkadang pesannya malah nggak sampai, sehingga saya seringkali skip film-film trauma yang digarap dengan kelam dan depresif.
Tapi pengalaman berbeda saya temukan dalam film arahan Marc Foster ini. Foster yang bukan kali pertama bekerja sama dengan David Magee ini berhasil menceritakan A Man Called Otto dengan jenaka dan penuh tawa, sekalipun yang disuguhkan adalah luka dan trauma.
Salah satu unsur yang berhasil mengangkat A Man Called Otto menjadi suguhan yang hangat adalah karakter Marisol yang diperankan oleh Mariana Trevio.
Marisol adalah tetangga baru yang menghuni rumah di seberang rumah Otto. Ia sendiri berasal dari Meksiko. Dan ia pindah ke komplek perumahan tersebut bersama seorang suami dan kedua orang putri kecilnya.
Kehadiran Marisol sedikit banyak memengaruhi sikap Otto. Karakter Marisol yang ceria dan penuh semangat menjadi teman yang baik untuk Otto. Sekaligus juga menjadi titik balik transformasi karakter Otto, sang pemeran utama.
Sebagai penghasil tawa, karakterisasi Marisol sangat sejalan dengan cerita yang diberikan kepadanya. Kehadirannya bukan sebagai comic relief yang hanya difungsikan sebagai pemancing tawa sebagaimana fungsi sebagian besar komika di film Indonesia.
Oleh karena karakter dan ceritanya sudah menyatu, tingkah laku dan celetukan Marisol tampil dengan sangat natural.
Saya kira nggak gampang untuk menaklukkan karakter tersebut. Bebannya sangat berat untuk membuat film tetap on the track tanpa harus mencuri spotlight Otto. Terlebih ketika Marisol pun kebagian memberikan performa yang bisa membuat penonton meneteskan air mata.
Di satu adegan ketika Marisol akhirnya 'menyerah' dengan sikap Otto yang nggak mau dibantu, saya menitikkan air mata. Rasanya, jika semua tetangga di dunia ini seperti Marisol, mungkin tukang sayur keliling nggak akan laku lagi karena nggak ada ruang untuk pergosipan. Xixi.
Sesama tetangga harus saling membantu
Dalam ajaran agama yang saya anut ada anjuran yang bunyinya begini:
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya.
Bisa saya bilang, A Man Called Otto betul-betul menggambarkan anjuran tersebut. Film ini sangat memberikan contoh bagaimana seharusnya kita bersikap dalam kehidupan bertetangga.
Selain Otto dan Marisol, mari kita kenalan juga dengan Anita dan Reuben. Mereka adalah sahabat Otto dan Sonya. Reuben terkena lumpuh dan harus duduk di kursi roda. Sementara dalam keadaan tersebut, Reuben dan Otto sedang terlibat 'perang dingin' atas suatu peristiwa ketika mereka masih muda.
Masalah lain menghampiri Anita dan Reuben. Pengembang (properti yang mereka tempati) hendak mengusir mereka dan memindahkannya ke panti jompo.
Otto merasa bahwa rumah mereka dan seluruh rumah yang ada di komplek tersebut adalah hak mereka yang tinggal. Maka ia melakukan serangkaian upaya agar mereka tetap mendapatkan haknya. Dengan kata lain, pengembang tidak menggusur mereka.
Usaha Otto yang dibantu dengan tetangga yang lain (of course Marisol ikut terlibat) membuahkan hasil. Anita dan Reuben tetap bisa menempati rumah mereka hingga akhir hayatnya nanti.
Saya tak perlu memberitahukan detail tentang bagaimana caranya. Satu hal yang saya petik adalah tentang kepedulian kita terhadap tetangga.
Sudah seharusnya kita berbuat baik kepada tetangga. Karena apapun yang terjadi pada diri kita, tetangga adalah orang pertama yang akan tahu dan menolong kita.
Saya terenyuh ketika suami Marisol melihat tumpukan es salju di depan rumah Otto yang belum dibersihkan. Padahal sebelumnya Otto adalah yang paling rajin membersihkan halaman depan rumahnya.
Tentunya kita tahu maksud sutradara menampilkan adegan ini. Peduli kepada tetangga tidaklah harus pada hal-hal yang besar. Cukup pada detail dan perhatian kecil seperti soal es salju tersebut, tapi berujung pada hal yang besar.
Andaikata sang suami nggak perhatian, siapa yang akan tahu alasan kenapa Otto nggak membersihkan rumahnya.
Terkadang kita terlalu larut dalam duka sendiri sehingga kita lupa bahwa di sekitar kita pun sedang menyemai dukanya masing-masing. Bagaimanapun juga duka dibolehkan tapi harus diakhiri.
Bukankah hidup hanya cerita tentang meninggalkan dan yang ditinggalkan?