|
Apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh dipisahkan manusia
Sedari kecil, Renata (Laura Basuki) ditanamkan dengan pemahaman bahwa kodrat istri adalah mengabdi dan menjaga keutuhan rumah tangga. Pemahaman tersebut terus menempel dalam hati dan keyakinannya hingga ia menikah dengan seorang lelaki bernama Edwin (Ario Bayu).
Ternyata, Edwin adalah sosok suami yang kasar, dan nggak jarang melakukan kekerasan kepada dirinya walau hanya karena hal sepele. Mendapati perlakuan suaminya yang sangat abusive, Renata tetap bertahan. Hingga pada akhirnya, ia mencurigai suaminya berselingkuh dengan perempuan lain.
Inilah kenyataan hidup yang harus diterima Renata yang kita bisa saksikan dalam film terbaru Starvision, Sehidup Semati.
Kisahkan KDRT yang sangat kelam
Di awal, film sudah memberikan informasi trigger warning, bahwasanya film ini mengandung adegan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kemungkinan bisa menimbulkan trauma bagi penyintas atau korban KDRT. Jadi, mohon kebijaksanaannya sebelum memutuskan untuk menonton film ini.
Adegan-adegan kekerasan seperti meninju, menonjok, memukul, hingga mencekik menjadi benang merah film ini. Sangat wajar jika adegan tersebut bisa ditemui hampir di sepanjang film. Saya sendiri beberapa kali bergidik ngeri melihat perlakuan Edwin kepada Renata. Sebiadab dan sejahat itu perlakuan seorang suami kepada istrinya.
Belum lagi ketika adegan Renata membuka bajunya di depan cermin kamar mandi. Lalu ia berputar dan kamera memperlihatkan punggung Renata yang penuh dengan bekas luka. Benar-benar mengiris hati.
Kesan muram sudah saya dapatkan sejak awal. Ditambah dengan tone warna yang digunakan dominan gelap menambah kesan kelam semakin kelam. Kinerja penata artistik pun sangat mendukung suasana kelam yang ingin dihadirkan.
Salah satunya dari latar apartemen yang menjadi tempat Renata dan suaminya tinggal yang sangat terkesan gloomy. Beberapa penghuni di sana sudah pada pindah karena sebetulnya apartemen tersebut sudah tidak layak huni. Tapi Renata tetap tertahan di sana, karena mengikuti perintah suaminya untuk tetap berada di apartemen.
Sesekali kamera menyoroti gedung apartemen itu secara wide dari luar, semakin menunjukkan bahwa memang Renata terjebak dan tidak bisa ke mana-mana.
Bangunan horor dan thriller yang mencekam
Kisah tentang perselingkuhan (dan atau dibumbui dengan kekerasan dalam rumah tangga) mungkin bukan hal baru di perfilman Indonesia. Dua film yang tayang sebelum ini yakni Layangan Putus the Movie dan Suami yang Lain pun berbicara hal serupa.
Tapi beda sutradara, beda pula pendekatan. Ekspresi sinematik dan statement sutradara menjadi penting dalam film ini.
Upi yang dipercaya menjadi sutradara sekaligus penulis naskah, membuat Sehidup Semati tampil lebih unik dan beda dari kebanyakan film tentang rumah tangga dan perselingkuhan.
Ia memberikan sentuhan dan pendekatan realis dan surealis sekaligus.
Dalam hal pendekatan surealis, Sehidup Semati menyuguhkan satu karakter lain lewat sudut pandang Renata. Renata seringkali merasa ada seseorang yang lewat di depannya.
Upi membuatnya dengan pendekatan ala film horor. Membuat saya menebak-nebak apakah yang sosok yang dilihat oleh Renata itu adalah hantu atau manusia. Tapi film membuat bagian ini terlalu berlarut-larut.
Akibatnya, pendekatan yang diambil berujung pada parade jumpscare yang repetitif. Ada kalanya saya lelah dan capek ketika menyaksikan Renata yang terus - menerus percaya dengan apa yang dilihatnya. Bahkan ketika film sampai pada bagian Renata mulai melawan suaminya, bagian horor ini tetap diulang yang membuat intensitas ketegangan menurun atau seperti kembali ke awal lagi.
Saya paham, hal ini demi efek kejut yang semuanya diungkap di akhir film secara menyeluruh.
Jujur saja, pola kayak gini bikin jenuh. Entah kenapa sineas kita tuh senang banget bikin hal yang 'gila' atau 'stres' itu sebagai kejutan di akhir. Menurut hemat saya, nggak terlalu perlu membuat twist yang ternyata karakter utamanya begini begitu.
Maksudnya, nggak ada masalah juga kalau penonton sudah dibuat tahu sedari awal kalau si karakter utama ini 'rusak'. Dan penonton dibawa melihat bagaimana dia terjun ke dalam kerusakannya. Toh, dalam konteks Sehidup Semati yang penting itu bukan siapa yang mati dan siapa yang bunuh, tapi soal bagaimana perempuan lembut dan taat seperti Renata bisa membunuh orang.
Tapi ada satu pendekatan surealis yang menarik, dan saya suka banget dari Sehidup Semati. Saya akan present satu karakter lain yakni Asmara, seorang wanita nakal yang menjadi tetangga Renata. Bahasan ini mungkin bisa saja menjadi spoiler bagi kamu yang belum nonton.
Jika kamu berniat nonton, cukupkan saja bacanya sampai di sini. Tapi jika kamu sudah menonton, let's discuss!
Diperankan dengan sangat ciamik oleh Asmara Abigail, kehadiran Asmara di hidup Renata perlahan mulai mengubah kepribadian dirinya. Renata jadi lebih chill menjalani hidup dan mulai berani melawan suaminya. Berani sekali Renata bilang suaminya munafik. Dan itu salah satu golden scene yang dipunya film ini.
Nuansa kelam film mendadak berubah lebih ceria sejak Asmara muncul di layar. Dengan umpatan-umpatan kasarnya, atau omongannya yang lugas tentang seks, membuat suasana bisa tegang dan lucu di saat yang bersamaan.
Tapi saya mengira Asmara hanyalah karakter hasil dari halusinasi Renata. Ini hanya teori saya saja berdasarkan petunjuk yang film hadirkan. Walau sangat mungkin dibantah dengan petunjuk lainnya. Saya sendiri berdebat cukup sengit di kepala, untuk menentukan apakah Asmara ini real atau tidak.
Renata digambarkan senang menonton sinetron tentang pelakor, sampai-sampai ia hafal dialog yang dilontarkan oleh pemerannya. Dan karakter maupun dialog si pemeran sinetron punya kemiripan dengan karakter Asmara yang film hadirkan.
Ditambah lagi, Renata yang sangat pendiam, bahkan disapa satpam pun ia tidak jawab dan melengos pergi, kecil kemungkinan ia bisa berinteraksi dengan Renata segitu bebasnya.
Walau demikian, interaksi-interaksi antara Renata dan Asmara menjadi salah satu adegan favorit saya di film ini. Terutama saat mereka berdua menari di laundry hingga ketika Asmara mengajarkan Renata untuk mengucap, "Laki-laki itu anj*ng".
Tapi untuk sampai pada teori ini, saya butuh waktu berjam-jam setelah nonton untuk memikirkannya. Mencoba mengingat kembali segala detail dan petunjuk yang dihadirkan film sedari awal.
Upi pernah melakukan pendekatan yang mirip pada film Belenggu (2012). Saya tidak bilang bahwa Belenggu did it better, tapi saya lebih bisa memahami Belenggu daripada Sehidup Semati. Simbol-simbol dan penanda akan adegan yang real atau tidak, lebih tergambar jelas dalam film Belenggu.
Saya bisa dengan mudah menentukan sebuah adegan real atau tidak karena adanya simbol-simbol. Semisal simbol kelinci yang hadir dalam beberapa adegan.
Atau dalam film Sleep Call yang juga dibintangi Laura Basuki. Kita diperlihatkan adegan Laura sering refill piring makanan kucing tapi kucingnya sama sekali nggak pernah kelihatan. Saya 'kan bisa mengira kalau sebenarnya kucingnya tidak ada, tapi Laura yang sebenarnya stres menyangka kucingnya masih hidup.
Nah, penanda-penanda seperti ini agak kurang saya temukan dalam Sehidup Semati. Ditambah dengan pola editing-nya yang random banget ketika melakukan eksposisi kejadian, sehingga kita sendiri yang harus menentukan timeline kejadian tersebut.
Saya membayangkan jadi Teguh Raharjo sang editor film ini. Bisa jadi di meja kerjanya penuh dengan tempelan notes yang berisi catatan petunjuk agar bisa menerjemahkan dengan baik keinginan dan keliaran dari seorang Upi.
Tapi terlepas dari filmnya yang bikin bingung, Sehidup Semati termasuk salah satu thriller minimalis yang well crafted dari segala aspek. Kamera, artistik, dan musik berpadu harmonis membuat film ini terasa sangat kelam dan mencekam.
Pun juga perlu saya mention penampilan Laura Basuki yang dalam beberapa tahun terakhir kian menunjukkan dirinya sebagai aktor hebat dan versatile. Ia sangat mampu memainkan beragam emosi dari range terendah hingga tertinggi. Dan ia juga bisa menjaga kontinuitinya mulai dari kontinuiti gerak, ekspresi, hingga intonasi dialog.
Satu hal yang menjadi pertanyaan saya adalah soal pemahaman yang menjadi keyakinan si karakter utama yang bisa saya baca sebagai director's statement. Saya masih merasa aneh saja, kenapa karakter bisa tahan dengan KDRT yang dilakukan oleh sang suami, tapi bisa menjadi ekstrem ketika ada pelakor?