Secara umum, genre superhero bercerita tentang sesosok manusia yang diberi kelebihan unik dibanding manusia lainnya. Kelebihan tersebut bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan, tergantung si superhero tersebut.
"Hai Sobat RajaSinema! Apa kabar? Semoga dalam keadaan baik-baik saja ya"
Ada banyak film yang saya tonton, tapi nggak semuanya diulas di blog ini. Selain karena waktu yang terbatas, juga kadang terdistraksi oleh aktivitas lain. Beberapa hanya berakhir menjadi draf yang tak kunjung dipublikasikan.
Belakangan, saya merasa sayang sekali jika draf tersebut tidak dipublikasi. Tapi jika dibuat satu ulasan film yang utuh, butuh effort lagi untuk mengingat detailnya. Bahkan, seringkali saya harus menonton ulang filmnya agar refresh akan jalan ceritanya.
Oleh karena itu, per bulan Mei 2024 (rencananya sebulan sekali), RajaSinema menyuguhkan format ulasan baru yakni MINI REVIEW.
Mini Review ini berisi ulasan singkat beberapa film yang punya benang merah yang sama. Filmnya tidak harus selalu film yang baru rilis atau sedang tayang di bioskop/OTT, tapi bisa juga film-film yang rilis bertahun-tahun yang lalu.
Untuk edisi perdana ini, RajaSinema mempersembahkan Mini Review tentang film-film superhero baik dari dalam maupun luar negeri.
Yuk, tanpa basa-basi lagi, mari kita sambut MINI REVIEW VOL. 1:
1. Shazam! Fury of the Gods (2023)
Menjadi dewasa itu tidak menyenangkan!/doc. Warner Bros |
Petualangan dan perjalanan remaja bernama Billy Batson (Zachary Levi/Asher Angel) yang menjadi dewasa setelah mengucap 'Shazam!' akhirnya berlanjut. Billy yang murah hati, tidak menjadikan keajaiban kata tersebut dikonsumsi seorang diri, tapi juga dibagikan ke teman-temannya.
Alhasil, Billy dan teman-temannya bisa berubah menjadi dewasa dan memiliki kemampuan khusus. Walau penduduk setempat lebih senang memanggil mereka dengan sebutan 'pecundang' dibanding pahlawan.
Suatu ketika, tempat tinggal mereka kedatangan putri-putri Atlas yang akan balas dendam. Pasalnya manusia sudah mencuri sesuatu yang berharga milik Raja Atlas yang merupakan ayah mereka.
Sejatinya, film berdurasi 130 menit ini, mengisahkan pertempuran antara manusia dengan utusan Atlas dari langit. Siapa yang akan memenangkan pertempuran?
Selayaknya film pertama, Shazam! Fury of the Gods masih mempertahankan elemen komedik lewat tingkah konyol Billy Batson dan kawan-kawannya. Karena sejatinya mereka masih anak-anak.
Sutradara David F. Sandberg berhasil mempertahankan Shazam! sebagai sajian yang penuh ledakan tawa, sekaligus juga petualangan yang menyenangkan.
Walau sebetulnya, spot Billy sebagai protagonis hampir saja dicuri oleh karakter lain. Saya pun mengira, salah satu teman Billy ini yang akan menjadi pemeran utama. Tapi nyatanya, Billy Batson tetap ditempatkan sebagai lead.
Namun, porsi karakter lain yang hampir mencuri spot, membuat pendalaman karakter Billy agak terabaikan. Hubungan dramatik dia dan ibu (sambungnya) yang diperlihatkan di awal, ternyata menjadi pemancing suguhan drama yang juga diberikan resolusi di akhir film.
Nah, karena di pertengahan, hubungan Billy dan ibunya kurang atau bahkan tidak digali dan spot-nya dicuri oleh temannya Billy, klimaks drama dalam Shazam! ini agak terasa datar dan hambar.
Ya, kalau boleh dibilang, itulah satu-satunya kelemahan Shazam! Fury of the Gods!
Secara hasil dari final battle, saya memang menyukai film superhero yang menempatkan kebaikan sebagai pemenang tertinggi.
Shazam! memiliki formula ini. Yang dimenangkan bukanlah Billy maupun putri Atlas, tapi kebersihan dan kebaikan hati di atas kedengkian dan keserakahan. Karena sejatinya manusia atau makhluk yang memiliki hawa nafsu akan selalu punya sifat baik dan sifat buruk di dalam dirinya.
Format cerita seperti ini, bukan hanya menempatkan Shazam! sebagai tontonan yang menghibur, tapi juga memiliki education value yang tinggi.
2. Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021)
Rumah sebaik-baiknya tempat pulang/doc. Marvel Studios |
Akhir film jenis seperti ini memang setipe, kebaikan akan selalu menang di atas kejahatan. Tapi persoalan dalam film, bukan sebatas bagaimana akhirnya tapi juga bagaimana proses dan cara bertuturnya.
Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mengisahkan tentang Shaun/Shang-Chi (Simu Liu) yang lari dari kehidupan keluarganya setelah ibunya meninggal.
Saat ibunya meninggal ia baru berusia 7 tahun, dan kabur di usia 14 tahun. Selama itu, ia dilatih ayahnya bela diri termasuk untuk balas dendam terhadap mereka yang membunuh ibunya.
Sementara saat Shaun dewasa, ia lebih memilih menjauh dari ayahnya. Ia berteman dengan Katy (Awkwafina) dan keduanya bekerja sebagai supir valet. Hingga suatu ketika, Katy terperangah dengan kejadian di bus dan melihat sosok Shaun yang berbeda dari yang ia kenal selama berteman dengannya.
Dalam memperkenalkan Shang-Chi sebagai superhero Asia pertama, sutradara Destin Daniel Cretton menggunakan pola penceritaan yang unik dengan pola editing flashback/transisi yang sangat pas mendukung adegan. Satu per satu karakter dalam film ini diperkenalkan dengan mulus dalam transisi tersebut.
Pola editing ini punya kelebihan untuk menutupi akting Simu Liu yang menurut saya masih datar dan hambar ketika harus melakukan serangkaian adegan drama yang melibatkan psikologisnya.
Ketika ia merenung, mengenang masa lalu, membayangkan nasihat ibunya, penjiwaan dan ekspresi Simu Liu cenderung datar. Oleh karenanya transisi adegan kilas balik ini, cukup menguatkan apa yang dirasakan Shang-Chi agar turut tersampaikan kepada penonton melalui visual.
Untuk urusan efek khusus dan sinematografi, film-film berbudget besar seperti ini memang tidak perlu diragukan lagi.
Gambaran desa Ta Lo, desa kelahiran ibunya yang berada di tengah hutan terpencil, sangat memanjakan mata. Lengkap dengan binatang-binatang khasnya termasuk sang naga pelindung dan monster musuhnya.
Nilai lebih lagi bagi Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings ada pada koreografi laganya. Karena mengusung budaya China (Tiongkok), sepanjang film kultural China sangat dominan. Mulai dari laga (kungfu), bahasa, artefak, hingga busananya. Menjadikannya berbeda daripada kebanyakan laga/superhero Hollywood pada umumnya.
Namun, karena sebagai perkenalan, film ini mencoba berusaha memasukkan berbagai unsur dalam satu racikan. Drama keluarga, komedi, fantasi, laga, dicampur baur menjadi satu.
Soal komedi, kehadiran karakter Katy memang menjadikan komedinya sangat pas dan tepat takaran. Sesederhana plesetan nama Shang-Chi menjadi Shaun, ketika Shaun dan Katy dialog di pesawat, bisa menjadi bumbu humor yang efektif.
Sayangnya, urusan fantasi, logikanya tidak dibangun dengan struktur yang utuh. Final battle-nya hanya bertumpu pada visual yang baik, tapi kurang disertai dengan penceritaan yang bertingkat dan mengikat.
Musuh bisa kalah hanya dengan sekali putaran. Pola seperti ini cenderung membosankan. Meskipun penonton tahu jikalau akhirnya musuh bakal kalah oleh sang pemeran utama, tapi dramaturgi itu perlu dibangun.
Tentunya penonton akan lebih bersorak sorai gembira pada sang jagoan yang sudah hampir mati namun bisa bangkit dan memenangkan pertarungan, daripada yang sekali peperangan sudah dipastikan memenangkan pertempuran.
Bukan begitu?
3. Virgo and the Sparklings (2023)
Awas kebakar!/doc. Screenplay Bumilangit |
Virgo and the Sparklings bercerita tentang remaja SMA putri bernama Riani (Adhisty Zara) yang memiliki kemampuan bisa mengeluarkan api dari tangannya. Akibat kemampuannya yang sulit dikontrol, Riani harus pindah sekolah berkali-kali karena bikin ulah yang tak disengaja.
Selain kekuatan super bisa mengeluarkan api, Riani juga punya kemampuan olah vokal dan bisa mengetahui warna suara.
Perlu diakui secara pembangunan cerita, Virgo and the Sparklings tampil jauh lebih baik daripada Gundala dan Sri Asih. Penonton diperlihatkan bagaimana Riani beradaptasi dengan kekuatannya tersebut yang dibantu oleh teman-teman band-nya.
Proses adaptasi Riani juga dilukiskan secara fun dan natural selayaknya anak remaja. Misal menggunakan kekuatan apinya untuk menghangatkan makanan. Hingga akhirnya Riani bisa kontrol kemampuannya, Virgo and the Sparklings hadir dengan sangat menyenangkan.
Sudah hal umum dalam film bergenre superhero, akan selalu ada sosok villain yang menjadi musuh utama si protagonis. Dalam hal ini, Carmine (Mawar de Jongh) adalah lawan yang sepadan untuk Riani.
Carmine sama-sama memiliki vokal yang bagus. Dan kemampuan vokalnya bisa memengaruhi orang lain untuk berbuat jahat.
Yang sungguh disayangkan, porsi Carmine dan band-nya sama sekali sedikit dan kurang digali. Bahkan teman-temannya hanya sebagai dayang-dayang saja. Dialog pun mereka nggak kebagian.
Ody C. Harahap selaku sutradara lebih senang mengembangkan plot lain meski ujung-ujungnya plot tersebut berakhir di Carmine.
Bagi saya, dengan porsi yang tak seimbang sulit sekali memberikan investasi emosi pada kedua karakter utama, Riani dan Carmine. Sejak awal film sudah menempatkan Riani sebagai 'pemenangnya'.
Padahal setiap perbuatan dari karakter selalu punya motivasi yang bisa direnungkan dan dipikirkan oleh penontonnya sekalipun ia karakter jahat. Karena meskipun penonton sudah tahu siapa yang akan menang, ada yang lebih penting dari itu yakni perjalanan para karakternya.
Akibat lain dari pembagian porsi yang nggak seimbang ini adalah pembangunan final battle yang sama sekali nggak kerasa klimaksnya. Carmine and the gank hanya dikalahkan oleh satu teriakan, 'Virgooooo.........'. Oh, kemon bang!
Aspek lain seperti lagu-lagu yang digunakan dan penataan musik memang perlu mendapat perhatian lebih. Lagu-lagunya easy listening sekalipun beberapa di antaranya merupakan lagu baru.
Untuk urusan efek visual, sekali lagi kita belum bisa berharap banyak pada film Indonesia, termasuk Virgo and the Sparklings.
Agak disayangkan memang film superhero remaja ini
hanya meraih penonton 50 ribuan saja. Kirain saya bisa mengobati gagalnya
Sri Asih. Eh tahunya malah semakin anjlok.
Kalau kalian ditakdirkan menjadi superhero, kalian pengin punya kekuatan apa? Yak nggak apa-apa, namanya juga berandai-andai.