Baru saja volume 3, sudah kepikiran untuk mengubah konsep mini review. Konsep awal mini review didasarkan pada tema tertentu. Yakni, ada beberapa film yang diulas yang memiliki tema yang sama. Tapi tidak terbatas pada tahun rilisnya.
Sekarang kepikiran, mini review ini ditujukan khusus film-film terbaru yang mungkin agak malas untuk saya buat ulasan panjangnya. Dan tentunya, nggak terbatas pada tema tertentu.
Menurut kamu, konsep paling pas buat mini review RajaSinema ini seperti apa ya? Boleh lho kasih masukan.
Sembari menunggu wangsit hendak diapakan mini review ke depannya, saya selesaikan dahulu Mini Review Vol. 3 dengan tema 'film fantasi'.
Apa sih yang dimaksud dengan 'film fantasi'?
Sederhananya, film bergenre fantasi itu menggabungkan tema yang imajinatif dan fantastis. Betul-betul hasil imajinasi sineas, yang kadang soal latar tempat dan waktunya pun tidak diketahui zaman dan dimensinya.
Berikut tiga film fantasi yang menurut saya menarik dari segi konsep, tapi secara eksekusi keseluruhan cukup mengecewakan.
1. The Boogeyman (2023)
Gambaran fantasi hantu 'the boogeyman'/doc. 20th Century Studios |
Di deretan pertama ada film yang nggak sepenuhnya fantasi, tapi juga gabungan dengan horor dan misteri, The Boogeyman.
Bercerita tentang dua orang anak perempuan yang seringkali merasa gelisah, pascaditinggal oleh ibunya yang meninggal karena kecelakaan.
Sang adik, sering berhalusinasi melihat makhluk menyeramkan yang muncul dari dalam lemari. Sementara sang kakak masih trauma dan enggan bersosialisasi dengan teman-temannya di sekolah.
Sementara ayah mereka, sibuk dengan pekerjaannya sebagai psikiater dan jarang membersamai keseharian kedua anaknya.
First of all, saya sangat suka pada horor yang melakukan pendekatan dari sisi psikologis karakternya. Alias bukan sekadar kemunculan hantu semata.
Persoalan duka yang para karakter alami sangat berpotensi jadi materi menarik bagi The Boogeyman untuk mengembangkan kisah horornya.
Tapi sayangnya, sang sutradara terjebak pada kisah mistis atau supernatural di akhir film. Sosok hantu yang mereka sebut "the boogeyman" dimunculkan di akhir film.
Sayangnya, kemunculan hantu tersebut nggak disertai asal-usul sang hantu. Walau itu bukan menjadi masalah selama penonton dibuat paham, soal apa dan bagaimana sosok hantu ini.
Sayangnya lagi, kita nggak pernah diberikan penjelasan logis, kenapa sosok "the boogeyman" bisa muncul di dua lokasi dalam waktu yang bersamaan misalnya. Begitu juga dengan cara pemusnahan makhluk tersebut yang terasa janggal.
Saya sulit sekali menerima cara bagaimana ketiga karakter utama bisa
mengalahkan sosok hantu tersebut. Hmm...
Jadi mereka bertiga ngapain?/doc. 20th Century Studios |
Jujur saja, tanpa hantu itu dimunculkan, The Boogeyman sesungguhnya punya banyak amunisi yang siap membuat penonton mencekam ketakutan dan atau merasakan ketegangan.
Saya betul-betul merinding ketika sang ayah kedatangan pasien asing yang menceritakan kisah anaknya yang meninggal. Dan penonton menyangka, sang ayah adalah pembunuh anak tersebut.
Atau treatment-treatment horornya yang masih berfungsi efektif walau bukan sesuatu yang baru. Semisal mempermainkan lampu on-off ala-ala Lights Out.
Pada akhirnya, The Boogeyman ini serasa kurang percaya diri menggali keseraman dari sisi masalah yang dihadapi karakternya. Alih-alih menggali lebih dalam traumatik yang dirasakan oleh ketiga karakter utamanya, film ini lebih memilih memunculkan sosok hantu sebagai jalan pamungkas.
2. Paradise Hills (2019)
Ngapain aja mereka di Paradise Hills?/doc. Nostromo Pictures |
Terbangun di tempat asing, Uma (Emma Roberts) langsung berlari berusaha kabur dari tempat tersebut. Ia menerobos beberapa penjaga dan berhasil keluar. Namun apa daya, ternyata ia berada di sebuah pulau di tengah-tengah lautan. Ia tak bisa ke mana-mana.
Belakangan diketahui, tempat tersebut bernama Paradise Hills. Sebuah fasilitas yang dijalankan oleh Duchess (Milla Jovovich) untuk memberikan terapi kepada anak perempuan untuk menjadi 'lebih baik'.
Nggak salah jika banyak keluarga kaya mengirim anak perempuan mereka untuk menjadi versi sempurna dari diri mereka sendiri. Termasuk Uma yang dikirim ibunya karena enggan dijodohkan dengan lelaki kaya pilihan ibunya.
Di Paradise Hills, Uma bertemu dengan tiga perempuan lain yang bernasib sama. Mereka dikirim oleh keluarga mereka masing-masing dengan alasan tertentu.
Tentunya dengan harapan, selesai menjalankan terapi di Paradise Hills, mereka pulang dalam keadaan yang lebih baik (tepatnya sesuai keinginan keluarga dan sosial masyarakat).
Kok ada lelaki di surga para wanita?/doc. Nostromo Pictures |
Dari premis di atas, Paradise Hills sesungguhnya punya materi memikat tentang bagaimana perempuan bisa memilih hidup atas dasar keputusannya sendiri. Tapi sayangnya, film arahan Alice Waddington ini, kurang bisa merangkainya menjadi sajian yang memikat.
Paradise Hills dengan segala pemandangannya yang indah, seringkali lupa dieksplor oleh penata kamera. Kamera lebih sering menyorot kehidupan Uma dan segala hal yang dekat dengannya.
Tak hanya melupakan potensi sinematografi, Paradise Hills yang memadukan konsep fiksi ilmiah dan fantasi ini pun nggak berhasil menyatukannya dengan baik.
Ditambah lagi persoalan lain dari porsi penceritaan karakternya. Meski ada empat karakter perempuan dengan masalah masing-masing, Uma lebih dominan diceritakan. Akibatnya, karakter lainnya agak useless.
Termasuk ketika mereka mengetahui rahasia besar di balik Paradise Hills, para karakter tidak diberikan kesempatan untuk 'unjuk peran'.
Konstruksi sosial masyarakat soal apa dan bagaimana seharusnya 'wujud'
perempuan, bisa saja jadi pilihan utama Paradise Hills ketimbang
ngebongkar Paradise Hills dengan segala macam plot twist-nya.
3. Akhirat: A Love Story (2021)
Lari sekencang-kencangnya ya/doc. BASE |
Konsep romansa fantasi memang jarang diterapkan di film Indonesia. Akhirat: A Love Story menjadi sesuatu yang segar. Sayangnya, keunikan itu hanya berakhir di konsep cerita saja. Begitu diadaptasi ke media audio visual semuanya ambyar mak pyar.
Film panjang perdana Jason Iskandar ini bercerita tentang sepasang kekasih, Timur (Adipati Dolken) dan Mentari (Della Dartyan). Di alam Dunia, kisah cinta mereka terhalang perbedaan keyakinan.
Suatu ketika, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Saat mereka terbangun, keduanya bingung berada di mana. Meski tak lama kemudian mereka berdua bertemu di sebuah tempat asing, yang mari kita sebut saja sebagai Akhirat.
Penggambaran suasana Akhirat di film ini, dilukiskan dengan banyak pepohonan yang didominasi warna hijau. Bukan suatu masalah sih, karena 'kan kita semua memang belum ada yang ke alam akhirat. Sehingga referensi akhirat yang digunakan, bebas-bebas saja sesuai imajinasi dan visi sutradara.
Namanya juga fantasi, iye 'kan?
Tapi persoalannya, penggambaran akhirat yang terlalu sederhana ini, tidak jauh berbeda dengan dunia nyata di film ini. Akibatnya irisan antara Dunia dan Akhirat di film ini, tidak terlalu kentara di mana bedanya.
Belum lagi persoalan manusia (atau hantu) yang hidup di dalamnya. Para karakter yang menghuni alam Akhirat ini, sangat kaku. Dialognya tidak enak didengar. Persoalan akting, hanya mampu diselamatkan oleh Della Dartyan yang ternyata bisa berperan sebagai cewek imut nan manja, setelah berperan cukup liar di Love for Sale.
Lebih suka Dunia atau Akhirat?/doc. BASE |
Masalah lainnya hadir dari isu besar yang dibawanya. Film tidak berani menyelami lebih jauh persoalan cinta beda agama yang sampai ke Akhirat pun terbawa-bawa. Akhirnya isu-isu yang mungkin awalnya terkesan brilian, hanya jadi pepesan kosong semata.
Nggak ketinggalan, pola penceritaan film ini yang cenderung lebih banyak bertumpu pada penggunaan bahasa verbal dibanding bahasa visual. Semisal aturan apa yang bisa dipegang/disentuh oleh hantu saja dijelaskan secara verbal.
Sebagai film fantasi, Akhirat: A Love Story sama sekali tidak
merangsang daya khayal dan imajinasi penonton. Sungguh disayangkan!
Apakah kalian punya fantasi dalam hidup? Share yuk, siapa tahu ceritamu jadi film.