Sempat menarik diri dari peredaran beberapa hari sebelum Pemilihan Umum (Pemilu, Februari 2024), film Kupu-Kupu Kertas akhirnya kembali tayang di bioskop pada 26 September 2024. Meski layar yang diberikan tidak sebanyak dua film Indonesia lain yang tayang berbarengan yakni horor Sumala dan drama Home Sweet Loan.
Saya memutuskan untuk menonton film ini karena tertarik sekaligus penasaran, kenapa film ini ditarik sebelum Pemilu. Apakah ada hubungannya dengan isi cerita yang berlatar tentang Partai Komunitas Indonesia (PKI) di tahun 1965, atau ada faktor eksternal lainnya.
Romansa tragis di tengah konflik horizontal
Kupu-Kupu Kertas mengambil latar di Banyuwangi pada tahun 1965. Diceritakan kala itu, kepala pimpinan simpatisan PKI, Rekoso (Iwa K) bermusuhan dengan pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (NU) yang dipicu oleh penyerangan sepihak dan perebutan tanah oleh PKI.
Film arahan Emil Heradi ini dengan sangat jelas menempatkan PKI sebagai antagonis utama yang menjadi penyebab konflik. Sementara NU menjadi protagonis utama yang sifatnya hanya melawan dan mempertahankan, tidak memulai serangan lebih dulu.
Yang menarik adalah, soal konflik ini dituturkan dari sudut pandang Ning (Amanda Manopo), yang merupakan anak Rekoso. Ning secara tidak sengaja jatuh cinta pada Ihsan (Chicco Kurniawan), pemuda kalem dari golongan NU. Sudah sangat jelas, cinta mereka akan menemui jalan terjal karena kedua keluarganya memiliki konflik horizontal.
Sebetulnya, baik Ning maupun Ihsan keduanya tidak terlibat langsung dalam konflik. Ning hanyalah anak kepala PKI, dan Ihsan hanyalah adik dari Rasyid (Samo Rafael), ketua Ansor.
Ketidakterlibatan mereka secara langsung terhadap konflik menjadi titik lemah utama film. Saya sulit sekali menginvestasikan emosi kepada keduanya, karena romansa mereka seakan hanya selingan dari peristiwa konflik yang dilukiskan film secara tragis, sadis, dan brutal.
Editor Wawan I. Wibowo sudah berusaha keras memberikan treatment penyuntingan yang baik agar penonton paham, bahwa romansa mereka berada dalam keadaan yang tidak akan menguntungkan sama sekali. Sesekali setelah menggambarkan konflik, film akan membawa penonton pada kisah romansa Ning dan Ihsan.
Tapi emosi antara romansa dan konflik yang menjadi latar belakangnya terasa terpisah. Setidaknya, jika kedua karakter utama digambarkan tidak menyukai permusuhan dan tidak terlibat dalam konflik fisik, seenggaknya karakter tersebut bisa digali lebih dalam dari sisi pemikirannya.
Sangat terasa sekali memang penulisan karakter Ning dan Ihsan tidak matang. Salah satunya terlihat ketika dialog Rasyid mempertanyakan kepada adiknya, soal apa yang dia bela dalam hidup. Seketika Ihsan memang tidak bisa menjawab apa-apa, selain ia hanya ingin hidup seperti bapaknya yang tidak terafiliasi dengan golongan manapun.
Kalau sedikit mengingat kisah cinta Minke dan Annelies dalam Bumi Manusia, kedua karakter ini sangat menyatu dengan cerita dan latar filmnya. Saya bisa peduli pada kisah cinta Minke dan Annelies yang hancur lebur, karena memang karakter mereka menjadi pengikat cerita bukan sebatas selingan.
Selalu ada pihak yang mencari peruntungan dalam konflik
Sebagai manusia merdeka, sebetulnya saya berada di pihak Ihsan. Saya termasuk yang berpikir tidak ada gunanya terafiliasi dengan organisasi tertentu jika dan hanya yang terjadi hanyalah perkelahian dan pertumpahan darah.
Tanpa dibarengi dengan iman yang kuat dan cara pikir yang menyeluruh, keikutsertaan dalam kelompok tertentu hanya akan berujung pada ketakutan dan fanatisme kelompok. Dan inilah yang menjadi cikal bakal konflik horizonal.
Pun dengan motivasi PKI yang menyerang Ansor. Berkali-kali Rekoso bilang, "makan atau dimakan". Baginya dalam hidup, jika tidak memulai penyerangan lebih dulu orang akan menyerangnya. Padahal Ansor tidak demikian. Maka, sangatlah buruk jika perebutan tanah secara paksa oleh Rekoso dinamai dengan ketakutan. Mungkin lebih tepat jika disebut dengan keserakahan.
Terlepas dari bagaimana film menggambaran kedua organisasi ini, Kupu-Kupu Kertas sangat berhasil dalam mengembangkan cerita keduanya. Film dengan sangat baik mengeksplor karakter-karakter di kedua belah pihak yang membuat saya empati.
Dari sisi Ansor, penonton dihadapkan karakter seorang pemuda yang cacat fisik (diperankan Fajar Nugra), yang ingin sekali bergabung dengan Ansor. Tapi kehadirannya selalu ditolak, dan hanya ditempatkan sebagai pengurus ternak. Ia merasa dirinya tidak berguna berada dalam kelompok Ansor, hingga memutuskan untuk berkhianat.
Sementara dari sisi PKI, film juga menyoroti karakter istri Rekoso (diperankan Ayu Laksmi), yang ternyata menjadi dalang utama segala penyerangan yang dilakukan PKI. Meski penggambarannya tidak sedramatis pemuda Ansor yang cacat fisik, karakternya dikembangkan bersamaan dengan trauma masa lalunya.
Lantas siapa yang memenangkan pertarungan?
Setiap konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, yang paling dirugikan adalah masyarakat itu sendiri yang tidak tahu apa-apa. Apalagi ketika konflik tersebut ditunggangi oleh kelompok lain dengan tujuan tertentu.
Seakan ingin mengiyakan hal tersebut, Kupu-Kupu Kertas yang sedari awal sudah menunjukkan kekejaman PKI terhadap Ansor, memunculkan kelompok lain yang turut serta dalam konflik. Silakan ditonton filmnya, dan dicari tahu soal kelompok yang disebut dalam filmnya.
Khusus kelompok ini, sengaja tidak saya bahas panjang lebar, karena poin utamanya adalah, siapapun kelompoknya pada dasarnya mereka sama saja. Membunuh manusia dengan begitu kejam. Masing-masing tidak mendapat apa-apa. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Pada akhirnya, saya bisa memaafkan kehadiran romansa Ning dan Ihsan yang hanya selingan, karena penggambaran konflik latar belakangnya yang lebih menarik. Kupu-Kupu Kertas menjadi salah satu film berlatar sejarah yang sangat watchable di bioskop, karena digarap dengan teknis yang mumpuni.
Semoga apa yang terjadi di masa lalu, dan konflik yang dihadirkan dalam Kupu-Kupu Kertas, menjadi pengingat generasi masa kini untuk senantiasa memelihara perdamaian dan menjadikan organisasi sebagai wadah untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik.